Rabu 17 Apr 2013 19:58 WIB
Resonansi

Paradoks Demokrasi

Yudi Latif
Foto: Republika/Daan
Yudi Latif

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Yudi Latif

Empat belas tahun Orde Reformasi, perkembangan demokrasi Indonesia menampakkan wajah yang paradoks. Disatu sisi demokratisasi membawa kebebasan berekspresi dan berasosiasi. Di sisi lain, terdapat antagonisme terhadap kecenderungan ini berupa arus balik "politik identitas" (identity politics), yang mengukuhkan perbedaan identitas kolektif-etnis, agama, dan bahasa.

Arus balik politik identitas ini membawa arus liar di balik maslahat demokrasi. Betapa tidak, pintu masuk menuju demokratisasi ini dimulai dengan aksi kekerasan terhadap keturunan Tionghoa, disusul oleh serangkaian kekerasan negara dan masyarakat, terutama di Papua, Timor-Timur, Aceh, Kalimantan Barat, Maluku, Jawa Timur, Jawa Barat, dan wilayah lainnya.

Pemilukada secara langsung malah membawa dampak lebih jauh, berupa bentrokan keluarga, marga, dan tetangga dalam lingkungan terdekat.

Hal ini terjadi karena politik segregasi yang diperkenalkan sejak era kolonial membuat masyarakat Indonesia terkunci dalam situasi "plural monokulturalisme" yang terdiri atas banyak etnokultural yang hidup dalam kepompong budayanya masing-masing, tanpa kehendak saling berbagi.

Di masa Orde Baru, situasi demikian diperkuat, ketika asimilasi dipaksakan dan perbedaan ditekan lewat tabu SARA. Maka, ketika angin kebebasan berembus, arus desentralisasi menjadi katalis bagi perayaan perbedaan.

Dalam situasi demikian, eksistensi Indonesia sebagai republik dituntut untuk berdiri kokoh di atas prinsip dasarnya. Ide sentral dari republikanisme menegaskan bahwa proses demokrasi bisa melayani sekaligus menjamin terjadinya integrasi sosial dari masyarakat yang makin mengalami ragam perbedaan.

Oleh karena itu, tantangan demokrasi ke depan adalah bagaimana mewujudkan pengakuan politik (political recognition) dan politik pengakuan (politics of recognition) yang menjamin hak individu maupun kesetaraan hak dari aneka kelompok budaya sehingga bisa hidup berdampingan secara damai dan produktif dalam suatu republik.

Political correctness dituntut untuk mentransformasikan situasi "plural monokulturalisme" menuju situasi "multi kulturalisme" lewat berbagai kebijakan yang mendorong ke arah proses-proses penyerbukan silang budaya (cross-culturefertilization).

Masyarakat multikultural hanya bisa dipertahankan oleh suatu budaya politik jika kewargaan demokratis bisa menjamin bukan saja hak-hak sipil dan politik setiap individu (individual rights), melainkan juga hak-hak sosial-budaya kelompok masyarakat (communitarian rights).

Dalam kaitan dengan hak-hak individu dan kelompok, David Hollinger (1995) membedakan dua jenis multikulturalisme. Yaitu, "model pluralis" yang memperlakukan kelompok sebagai sesuatu yang permanen dan sebagai subjek dari hak-hak kelompok (group rights) dan "model kosmopolitan" yang mengidealkan peleburan batas-batas kelompok, afiliasi ganda, dan identitas hibrida yang menekankan hak-hak individu (individual rights).

Berdasarkan model tersebut, Will Kymlicka (2000) menghadirkan contoh kebijakan multikulturalisme di Kanada, yang membuat negeri ini tak mengalami kekerasan komunal dalam 125 tahun terakhir. Di satu sisi Canada menerapkan "model pluralis" dengan mengakui hak-hak aneka kelompok etnis untuk mengekspresikan identitasnya masing-masing di ruang publik. Di sisi lain, Kanada juga mengantisipasi "model kosmopolitan", dengan cara mendorong berbagai kelompok etnis untuk saling berinteraksi dan berbagi warisan budaya mereka serta berpartisipasi bersama dalam institusi-insitutsi pendidikan, ekonomi, politik dan hukum.

Dalam jangka panjang diharapkan terjadinya proses penyerbukan silang budaya bisa mencairkan hambatan- hambatan prasangka antarkelompok, mendorong hibriditas budaya, dan akhirnya lebih memberi keleluasaan bagi individu untuk memenuhi hak dan menentukan pilihannya sendiri.

Selain itu, upaya negara untuk memberi ruang bagi koeksistensi dengan kesetaraan hak bagi berbagai kelompok etnis, budaya, dan agama juga tidak boleh dibayar oleh ongkos yang mahal berupa fragmentasi masyarakat. Oleh karena itu, setiap kelompok dituntut untuk memiliki komitmen kebangsaan dengan menjunjung tinggi konsensus nasional, seperti yang tertuang dalam Pancasila dan konsitusi negara serta unsur-unsur pemersatu bangsa lainnya, seperti bahasa Indonesia.

Seiring dengan itu, kesenjangan ekonomi yang kerap menyimpan benih sentimen etnis harus diatasi oleh negara dengan mengembangkan negara kesejahteraan yang berkhidmat bagi kepentingan rakyat banyak. Affirmative actionbisa saja diberlakukan dengan catatan tidak berlandaskan pada perbedaan kelompok etnis atau agama, melainkan bagi siapa saja yang mengalami nasib kurang beruntung.

Pada akhirnya, seperti dikatakan John Raws (1980: 540), sumber persatuan dari negeri multikultural adalah apa yang disebutnya sebagai "konsepsi ke adilan bersama" (a share conception of justice). Dikatakan olehnya, "Meskipun masyarakat yang tertata baik terbagi dan majemuk, persetujuan publik atas persoalan keadilan sosial dan politik mendukung persaudaraan kewargaan dan mengamankan ikatan- ikatan asosiasi."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement