REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- JAKARTA -- Persoalan jual beli suara masih menjadi pekerjaan rumah dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Peneliti independen dari ICW dan TII Luky Djani mengatakan riset yang mereka jalani justru lebih banyak ruginya.
Faktor uang tidak bisa berdiri sendiri namun ada variabel lain yang justru lebih rumit. "Uang tidak bisa mendikte tapi berkelindan dengan faktor tersebut," ungkapnya saat bertandang ke harian Republika, Selasa (9/4).
Luky lebih jauh memaparkan faktor jual beli suara tidak berdiri sendiri. Ada variabel kemiskinan, dominasi kemiskinan dan relasi pemilih dengan bos-bos lokal.Penelitian ini dilakukan di Aceh, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Jawa Timur dan NTT.
Luky mencontohkan faktor timing pemberian sangat berpengaruh. Temuan di Sulsel, mayoritas pemilih cenderung mencoblos kandidat yang terakhir memberikan uang. "Meski uangnya lebih kecil," katanya.
Sedang kasus di Aceh sedikit berbeda. Kandidat yang memberikan uang pertama kali yang akan dipilih. Luky juga menjabarkan di Surabaya dan Kalimantan Timur justru pemberian fasilitas umum lebih disukai dibanding pemberian uang langsung. "Pavingisasi jalan dan perbaikan jalan memberi kandidat peluang lebih besar dipilih," katanya.