REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dinilai tidak memiliki wewenang untuk menentukan kerugian negara dalam kasus dugaan penyalahgunaan Frekuensi 2,1 GHz.
Hal itu dikemukakan Prof. Dr. Anna Erliyana, S.H., M.H. selaku saksi ahli dalam sidang gugatan PT Indosat Tbk dan Indar Atmanto, mantan Direktur Utama PT Indosat Mega Media (IM2), atas Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Senin (1/4).
Berdasarkan peraturan, BPKP memiliki sifat internal yaitu, pengawasannya melekat di Instansi – instansi pemerintah yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres).
Sementara institusi pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dan menentukan kerugian negara ke pihak–pihak non pemerintah atau swasta adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
"Penentuan kerugian itu (dalam kasus PT Indosat – IM2) di luar kewenangan BPKP," kata Anna di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN), Jakarta Timur, Senin (1/4).
Namun begitu, Anna juga menjelaskan bahwa keputusan Auditor bersifat independen. Apapun hasil yang telah ditentukan tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun, meskipun atasannya sendiri.
Saksi lain, Kepala Sub Bagian Administrasi Kejaksaan Agung, Muhtadi, lebih sering menjawab tidak tahu saat dicecar pertanyaan terkait kepada siapa surat hasil audit BPKP diserahkan kepada pihak Kejagung. Muhtadi hanya menjelaskan bahwa BPKP menyerahkan surat hasil audit sebanyak dua kali, pada tanggal 13 dan 21 Maret 2012.
Sementara pengacara PT Indosat, Erick S Paat, mengapresiasi keterangan saksi ahli yang menegaskan bahwa BPKP tidak berwenang untuk mengaudit PT Indosat-IM2.
”Jelas sekali keterangan saksi ahli tersebut sangat menguntungkan kami. Apalagi ditegaskan bahwa BPKP tidak berwenang menentukan kerugian negara, BPK yang berwenang untuk itu, jika merujuk dari ketentuan Undang-Undang yang lebih kuat dibandingkan Keppres,” kata Erick dalam siaran pers di Jakarta, Senin (1/4).
Karenanya Erick optimistis kliennya mampu memenangkan kasus ini.