Senin 01 Apr 2013 07:06 WIB
Resonansi

Ketika Kursi Bashar al-Assad Diduduki Oposisi

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri

Bagaimana sikap Presiden Suriah Bashar al-Assad ketika melihat kursinya pada sidang Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Liga Arab yang ke-24 di Doha, Qatar, pekan lalu, diduduki oleh Ahmad Mu'adz Al Khatib? Yang terakhir ini adalah Presiden Koalisi Oposisi Nasional Suriah (SNC). Kursi itu pada sidang-sidang sebelumnya diperuntukkan bagi Presiden Suriah dan kini Liga Arab mempersilakan orang lain, tepatnya pemimpin oposisi, untuk menggantikannya.

Bashar al-Assad atau orang-orang terdekatnya tentulah menyimak jalannya konferensi yang diikuti 22 negara anggota Liga Arab tersebut. Hingga sekarang, belum ada media yang mengutip respons Bashar Assad. Mungkin saja ia marah. Atau, mungkin ia adem ayem saja alias cuek. Atau, bisa jadi ia membatin, “Kekuasaan saya telah dihabisi oleh konspirasi para begundal pemimpin Liga Arab.”

Komentar justru datang dari Rusia. Presidennya, Vladimir Putin, menyesalkan kesepakatan Liga Arab yang memberikan kursi Suriah kepada oposisi. Kudeta kursi Bashar al-Assad di KTT Liga Arab merupakan perkembangan penting dalam konflik di Suriah, yang dalam dua tahun ini telah menewaskan tidak kurang dari 70 ribu warga.

Sebelum sidang, para pemimpin Liga Arab telah bersepakat untuk mempersilakan pemimpin oposisi Suriah, Ahmad Mu'adz Al Khatib, menggantikan posisi Presiden Assad. Hanya tiga negara-Irak, Aljazair, dan Lebanon-yang abstain atau menolak. Bendera yang berkibar di arena sidang pun bukan bendera Suriah era Bashar Assad, melainkan sudah diganti dengan bendera baru versi kaum oposan. Mereka menyebutnya bendera kemerdekaan Suriah.

Sebagai tindak lanjut dari pengakuan kepada kelompok oposisi, semua kursi dan posisi Suriah di Liga Arab juga akan ditempati SNC hingga terbentuk pemerintahan baru yang definitif hasil pemilu rakyat. Termasuk, kesepakatan Liga Arab, semua Kedutaan Besar Suriah di negara-negara Arab juga akan diserahkan kepada kaum oposisi.

Keputusan penting lain dari KTT Liga Arab adalah mempersilakan masing-masing negara anggota membantu persenjataan kepada kelompok oposisi, terutama Pasukan Pembebasan Suriah. Tujuannya, menurut Sekjen Liga Arab Nabil Arabi untuk menciptakan keseimbangan kekuatan dengan rezim Bashar al-Assad.

Sedangkan, bagi Menteri Luar Negeri Qatar Sheikh Hamad bin Jasim bin Jabir Al Tsani mempersenjatai oposisi untuk membantu mereka mempertahankan diri dari gempuran senjata berat rezim Bashar al-Assad. “Hanya dengan itu penyelesaian damai akan bisa direalisasikan,” ujar mereka pada penutupan KTT Liga Arab, pekan lalu.

Sheikh Hamad menambahkan, Liga Arab selama ini telah mengutamakan solusi damai dalam membantu menyelesaikan konflik di Suriah. Namun, semuanya menghadapi kegagalan karena sikap keras rezim Bashar al-Assad yang menolak setiap usulan yang diajukan utusan Liga Arab dan PBB, dari Kofi Annan hingga Lakhdar Brahimi.

Karena itu, katanya, mempersenjatai kelompok-kelompok oposisi hanyalah bantuan yang sangat kecil dibandingkan pengorbanan rakyat Suriah. Namun, persoalan di kalangan oposisi bukan hanya persenjataan yang tidak seimbang dibandingkan dengan yang dimiliki rezim Assad. Perebutan pengaruh dan posisi-posisi penting di dalam tubuh Koalisi Oposisi Nasional Suriah telah menimbulkan ketegangan.

Bahkan, diprediksi akan semakin tajam justru setelah mereka berhasil menumbangkan kekuasaan Presiden Assad. Tepatnya, perebutan pengaruh antara pimpinan militer dan sipil/politikus. Misalnya, dalam pemilihan Ghassan Hitto sebagai perdana menteri kelompok oposisi Suriah. Sebelum pemilihan, pimpinan Tentara Pembebasan Nasional menyatakan penolakan terhadap pencalonan Hitto.

Bukan karena pribadi Hitto. Bukan pula lantaran ia suku Kurdi. Juga bukan karena Hitto merupakan eksekutif perusahaan teknologi informasi yang berbasis di Texas, Amerika Serikat (AS), dan baru November tahun lalu berpindah ke Turki. Namun, penolakan terhadap Hitto lebih karena proses pemilihannya.

Menurut mereka, sang calon perdana menteri harusnya dipilih berdasarkan kesepakatan seluruh kelompok oposisi, termasuk mereka yang sedang berjuang menyambung nyawa melawan rezim Assad. Bukan hanya dipilih oleh sebagian besar mereka yang hanya duduk-duduk di sebuah hotel di Turki.

“Revolusi rakyat Suriah sudah berlangsung dua tahun lebih. Bukan hanya dua pekan atau dua bulan. Lalu, apakah masuk akal begitu kami bangun pagi, tiba-tiba orang-orang yang berada di sebuah hotel di Turki telah memilih seseorang yang bernama Hitto sebagai kepala pemerintahan oposisi? Siapa Hitto? Bagaimana kami bisa menjelaskan kepada jutaan rakyat yang telah bersama kami tiap hari melawan keganasan rezim Bashar al-Assad? Bagaimana kami bisa menjelaskan seseorang yang tidak dikenal rakyat Suriah tiba-tiba memipin mereka,” ujar orang yang dekat dengan komandan Tentara Pembebasan Suriah, Kolonel Riyad Al As'ad.

Apa pun, Hitto sudah terpilih sebagai perdana menteri oposisi Suriah. Dia juga sudah duduk di samping presiden SNC Ahmad Mua'dz Al Khatib di kursi delegasi Suriah di KTT Liga Arab di Doha pekan lalu.

Namun, persoalan oposisi Suriah bukan hanya pengakuan di Liga Arab. Jauh hari, Rusia sudah mengancam akan menggagalkan setiap upaya pengakuan SNC di lembaga-lembaga internasional seperti PBB. Rusia dan beberapa negara lain juga dikabarkan terus memasok persenjataan kepada rezim Assad. Itu berarti konflik masih akan panjang. Itu berarti penderitaan rakyat Suriah juga akan semakin lama.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement