REPUBLIKA.CO.ID, TAMBORA -- Para PKL di kawasan Kota Tua Jakarta Barat memprotes rencana Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo, untuk membatasi jumlah PKL yang diperbolehkan berdagang. Rencana pembuatan klaster tersebut, dijadwalkan akan dimulai sejak awal Maret lalu.
Di wilayah pariwisata tersebut, rencananya akan dibangun empat klaster untuk tempat berjualan para PKL. “Biar rapi, jadi tidak sembarangan berdagang,” ujar Kasudin UMKM dan Perdagangan Jakarta Barat, M.Adiah.
Namun, rupanya wacana tersebut tidak terlalu disetujui para pedagang kaki lima (PKL) yang biasa membuka lapak disana. “Saya kurang setuju, habis yang nanti boleh berdagang disana hanya sedikit, saya nanti tidak kebagian tempat!” kata Parno, pedagang kaos di pinggiran jalan menuju museum Fatahillah.
Parno dan kawan-kawannya telah diberitahu bahwa hanya ada sekitar 250 pedagang yang nanti boleh berjualan di klaster-klaster tersebut. “Dari sekitar 700 PKL, hanya 250 yang bisa berjualan di klaster itu, karena tempatnya tidak mencukupi,” jelas Adiah ketika ditanya alasannya.
Dari 250 PKL yang boleh berdagang, Adiah menegaskan bahwa seluruhnya harus memiliki Kartu Tanda Penduduk DKI Jakarta. “Sekalian mengurangi orang daerah di ibukota, jadi kami wajibkan memiliki KTP Jakarta,” terangnya.
Sayangnya, banyak PKL di Kota Tua yang bukan merupakan warga Jakarta. “Sudah belasan tahun saya disini jualan walau bukan orang Jakarta, masak saya disuruh pindah begitu saja,” keluh Garmiadi, penjual sate padang yang asli keturunan Minang tersebut. Ia berkata kebanyakan pedagang disana bukanlah warga Jakarta,
“Soalnya dekat stasiun kan, jadi orang Bogor, Bekasi, Depok itu banyak yang jualan disini, dan sudah lama juga,” ujar pria berumur empat puluhan tersebut.