Ahad 31 Mar 2013 01:30 WIB

Kemunduran Demokrat

Rep: Esthi Maharani, M Akbar Wijaya/ Red: M Irwan Ariefyanto
  Ketua Umum DPP Partai Demokrat terpilih Susilo Bambang Yudhoyono, menyapa kader partainya usai berpidato politik di Sanur,Denpasar,Sabtu (30/3). (Republika/Aditya Pradana Putra)
Ketua Umum DPP Partai Demokrat terpilih Susilo Bambang Yudhoyono, menyapa kader partainya usai berpidato politik di Sanur,Denpasar,Sabtu (30/3). (Republika/Aditya Pradana Putra)

REPUBLIKA.CO.ID,DENPASAR - Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat yang berlangsung di Denpasar, Bali, Sabtu (30/3), resmi menetapkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai ketua umum menggantikan Anas Urbaningrum.

Penetapan itu disampaikan EE Mangindaan selaku pimpinan sidang kepada peserta kongres. SBY juga secara resmi menyampaikan apresiasi atas kepercayaan yang diberikan itu.

Namun, bagi sejumlah pengamat, terpilihnya SBY menjadi ketua umum Partai Demokrat ini dinilai sebagai kemunduran dalam proses kaderisasi partai berlambang Mercy itu.

“Itu kemunduran karena membuktikan Partai Demokrat tidak siap. Masak setelah Anas kok SBY?” kata pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Arie Sudjito saat dihubungi Republika, Sabtu (30/3).

Ia mengakui, pilihan itu merupakan kepentingan jangka pendek yang harus diambil Demokrat, mengingat kondisinya yang sedang dalam krisis kepemimpinan. Namun demikian, kata dia, pemilihan SBY sebagai ketum menunjukkan partai itu tidak siap menjadi partai modern. “SBY hanya menjadi garansi simbolis, tetapi tidak menjadi garansi keberhasilan pada 2014,” ungkapnya.

Hal yang sama juga disampaikan peneliti senior LIPI Indria Samego. Menurut Indria, meski SBY menjabat sebagai ketua umum Partai Demokrat, ia meyakini elektabilitas partai itu tidak akan membaik. Sebab, kata dia, peningkatan elektabilitas turut dipengaruhi oleh sikap dan perilaku kader partai dalam masalah hukum.

Peneliti politik LIPI Siti Zuhro menilai, naiknya SBY sebagai ketum Demokrat akan menimbulkan persoalan eksternal yang lebih panjang. Menurutnya, SBY akan berhadapan dengan asumsi negatif dari masyarakat. “Akan ada pandangan di masyarakat, ini ke mana presiden kita? Ini justru akan memunculkan asumsi yang negatif terhadap SBY,” kata Ziti.

Hal ini, lanjutnya, juga membuat Partai Demokrat menjadi partai dinasti. Ia menyebut, munculnya nama Ani Yudhoyono yang juga istri SBY dan Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) menjabat sebagai sekjen PD. Siti menambahkan, bagi masyarakat di luar Demokrat, SBY turut melegalkan rangkap jabatan pejabat publik.

Seusai dikukuhkan sebagai ketua umum Partai Demokrat, SBY menyatakan, ia hanya menerima takdir untuk jabatan itu. Ia menyatakan hanya sementara menerima jabatan itu sampai gonjang-ganjing di Partai Demokrat kembali normal.

Selain itu, kata dia, jabatan itu hanya untuk mempermudah partainya mendaftarkan calegnya menghadapi Pemilu 2014. “Terus terang, bagi saya ini dilematis dan tidak mudah untuk meresponsnya,” katanya.

Ia mengakui akan banyak kritikan terkait keputusannya menerima amanah itu. Bahkan, sejak dua bulan lalu, berbagai kritikan dan kecaman sudah dialamatkan kepadanya. Namun demikian, karena kondisinya yang memang tidak memungkinkan, SBY bersedia menerima jabatan itu. Menurutnya, pilihannya hanya dua. Pertama, tidak bersedia menjadi ketua umum dan partai akan menghadapi masalah. Kedua, menjadi ketua umum dan kritikan datang bertubi-tubi. “Sebagai pemimpin, saya memilih. Biarkan saya dikritik dan diserang daripada PD tambah susah. Barangkali ini takdir saya,” ujarnya.

SBY menegaskan, walau menjadi ketua umum Partai Demokrat, ia selaku presiden RI akan tetap memprioritaskan urusan negara. “Beliau sebenarnya inginkan, lebih cepat lebih baik, yaitu setelah Pemilu dan Pilpres 2014 selesai, kita lakukan seperti biasa kongres,” kata Mangindaan

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement