REPUBLIKA.CO.ID, BENGKULU -- Budayawan Bengkulu Tantawi Jauhari mengatakan, "cuci kampung" sebagai sanksi terhadap pasangan yang berbuat zina tidak efektif memberantas perbuatan tidak terpuji tersebut di daerah itu.
"Tidak ada efek jera, dan cuci kampung dengan memotong kambing lalu dimakan bersama penduduk satu rukun tetangga itu bukan hukum adat," katanya di Bengkulu, Kamis.
Ia mengatakan hal itu saat pertemuan antara tokoh masyarakat dan tokoh agama serta anggota Forum Komunikasi Pimpinan Daerah yang dipimpin Gubernur Bengkulu Junaidi Hamsyah.
Tantawi yang juga pengurus Badan Musyawarah Adat (BMA) Provinsi Bengkulu mengatakan, pemahaman tentang "cuci kampung" sudah salah kaprah di tingkat masyarakat.
Menurutnya, hukum adat biasanya digunakan untuk mengatasi persoalan sengketa lahan, sengketa warisan dan konflik antaretnis di daerah itu. Sedangkan perbuatan zina menurutnya lebih pada tindak pidana yang seharusnya diselesaikan lewat jalur hukum sehingga tidak terulang di kemudian hari.
Maraknya kasus asusila dan peredaran narkoba di daerah itu menjadi latar belakang pertemuan yang dipimpin Gubernur Bengkulu tersebut. Gubernur mengatakan kasus asusila dan narkoba yang menghiasi media massa lokal dengan intensitas tinggi perlu disikapi dengan serius.
"Pertemuan ini untuk menerima masukan dari seluruh pihak terkait tentang kasus yang meresahkan masyarakat, asusila dan narkoba," kata Gubernur.
Hasil pertemuan itu kata dia akan ditindaklanjuti dengan pembentukan tim yang dikoordinir Kanwil Kementerian Agama Provinsi Bengkulu.
Formula yang jelas dan berfungsi ke arah antisipasi kasus asusila dan narkoba menurutnya menjadi titik fokus.
"Pemerintah kabupaten dan kota akan dilibatkan dalam menuntaskan persoalan ini, karena narkoba dan asusila merupakan musuh bersama," katanya.