REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Hakim yang menangani perkara pidana anak tidak bisa dipenjara. Itu setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan uji materiil (judicial review) Pasal 96, 100, dan 101 UU 11/ 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Ketiga pasal itu memuat ketentuan pemidanaan bagi hakim yang salah dalam menangani perkara pidana anak.
Gugatan diajukan oleh Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA) M Saleh dan hakim agung Habiburrahman, Imam Subechi, Imron Anwari, serta Suhadi. Mereka mendalilkan, tiga pasal UU SPPA telah mencederai kemerdekaan hakim dalam menjalankan kekuasaan kehakiman demi mewujudkan peradilan yang merdeka.
Ketua MK Mahfud MD mengatakan, mahkamah mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya. Menurut dia, hakim merupakan salah satu pejabat yang berfungsi untuk menjalankan sistem peradilan secara utuh bersamaan dengan pejabat lain, seperti penyidik kepolisian dan jaksa penuntut umum. Dengan demikian, MK menilai ketiga pejabat ini tidak dapat diancam pidana apabila melakukan kesalahan saat menjalankan proses penanganan perkara.
Hakim konstitusi Anwar Usman menjelaskan, ancaman pidana kepada hakim, penuntut umum, dan penyidik tidak mencerminkan kekuasaan kehakiman dan independensi. Karena itu, aturan ancaman pidana terhadap hakim bertentangan dengan UUD 1945.
Menurut dia, ancaman itu sama saja dengan melakukan kriminalisasi terhadap pelanggaran administratif dalam penyelenggaraan SPPA. Kalau dibiarkan, hal itu dapat menimbulkan dampak negatif terhadap pejabat penyelenggara SPPA.
“Dampak negatifnya adalah dampak psikologis yang tidak perlu, yatu berupa ketakutan dan kekhawatiran dalam penyelenggaraan tugas dalam mengadili suatu perkara,” kata Anwar. Hal demikian, sambungnya, menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan. Karena itu, mahkamah perlu meluruskan agar aturan kontraproduktif dengan maksud untuk menyelenggarakan keadilaan SPPA. n erik purnama putra