REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penyedotan air tanah secara berlebihan terbukti menyebabkan beberapa lokasi di Jakarta mengalami tanah ambles hingga 25 sentimeter per tahun. Demikian kata seorang peneliti.
"Data GPS (Global Positioning System) hasil penelitian dengan ITB menunjukkan 'subsidence rate' (tanah ambles) bisa sampai 25 cm per tahun. Itu cukup tinggi untuk 'dislocation' dari suatu bangunan," kata peneliti Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Robert M Delinom, di Jakarta, Selasa.
Berdasarkan data GPS tersebut, ia mengatakan ambles tanah tercepat antara 20 hingga 25 cm per tahun terjadi di sekitar Senayan, Gedung DPR di kawasan Jalan Gatot Subroto, Joglo.
"Joglo, Senayan lebih cepat (ambles) terutama akibat pengambilan air tanah oleh hotel dan mal di sekitar lokasi,"ujar dia.
Lokasi lain yang juga mengalami ambles tanah lima hingga 15 cm per tahun terjadi di Pasar Minggu, Duren Sawit, Cakung, Tambun. Sedangkan, tanah di sekitar Kamal, Marunda, Sunter, Jagakarsa stabil selama penelitian berlangsung.
Berdasarkan hasil penelitian bersama dengan ITB tahun 2000 hingga 2005, ia mengatakan total penurunan ketinggian tanah terparah terjadi di daerah sekitar Daan Mogot yang mencapai hingga 70 cm.
Dalam kurun waktu yang sama, Kalideres mengalami ambles hingga 40 cm, Ancol ambles lebih dari 30 cm, Kelapa Gading sekitar 30 cm. Sedangkan, Jatinegara Timur, Kamal Muara, dan Cilincing ambles lebih dari 20 cm.
"Jika ingin melihat bukti yang jelas dari amblesnya tanah di Jakarta akibat penyedotan air tanah berlebih adalah tower di daerah Pasar Ikan, Jakarta Barat," lanjutnya.
Penyedotan air tanah yang mengakibatkan amblesnya tanah di Jakarta, menurut Robert, membuat banjir di wilayah Jakarta pada 2013 menjadi meluas dibanding dengan banjir 2007.
Penyedotan air tanah di Jakarta sudah dimulai sejak jaman Belanda. Penyedotan air tanah tercatat semakin cepat terjadi sejak tahun 1989 hingga 2007. Penyedotan rata-rata 70.000 meter kubik per hari hinga meningkat hampir 10 kali lipat 650.000 meter kubik per hari.
"Penyedotan air sempat melambat pada 1997-1998, dan saat krisis 2005. Ini karena perekonomian dalam kondisi tidak baik, industri banyak berhenti produksi," ujar Robert.