REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Tensi politik di Kota Bandung menjelang pemilihan wali kota periode 2013-2018 terus meningkat. Kali ini puluhan massa yang tergabung dalam Koalisi masyarakat bandung Bermartabat (KMBB) menggelar aksi unjuk rasa di halaman DPRD Kota Bandung, Kamis (21/3).
Mereka menolak Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPj) Wali Kota Bandung, Dada Rosada, yang disampaikan dalam rapat Paripurna DPRD.
Aksi unjuk rasa KMBB ini berlangsung mulai pukul 10.00 WIB. Massa yang didominasi kaum perempuan dan ibu-ibu ini tiba di halaman DPRD Kota Bandung sekitar pukul 10.00 WIB.
Puluhan massa ini membawa sebuah spanduk berukuran besar berwarna putih dengan tulisan hitam berbunyi 'Mendesak DPRD Menolak LKPJ/LPJ Wali Kota.'
Dalam aksi tersebut, massa bergantian melakukan orasi dengan mengungkapkan data-data tentang kegagalan wali kota Bandung dan jajarannya selama sepuluh tahun terakhir.
"Kami mencatat ada 13 persoalan besar yang gagal diselesaikan oleh wali kota dan jajarannya," kata Koordinator Aksi dan Kampanye Walhi Jabar, Wahyu Widianto.
Menurut Wahyu, selama 10 tahun kepemimpinan Dada Rosada, tidak membawa perubahan yang signifikan bagi masyarakat dan lingkungan hidup sebagaimana yang dimandatkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Bandung 2009-2013.
Ia menilai, kegagalan tersebut harus dipertanggungjawabnya oleh wali kota dan jajarannya. "Yang paling bertanggung jawab tentu wali kota," kata dia.
Wahyu mengatakan, sejumlah persoalan yang gagal diselesaikan wali kota, antara lain alih fungsi kawasan secara masif oleh pembangunan hutan beton (hotel, apartemen, mal, dan sarana komersil lainnya).
Selama lima tahun, kata dia, sedikitnya 104 jenis bangunan komersil dibangun di kawasan konservasi, resapan, lindung, sempadan jalan dan sungai. "Gedung-gedung cagar budaya berubah fungsi menjadi sarana komersil, tidak terawat dan terlantarkan," kata dia.
Dikatakan Wahyu, pembangunan hotel, mal, apartemen, dan sarana komersil lainnya memicu konflik sosial di masyarakat seperti di wilayah Rancabentang, Bangbayang, Batununggal, Sukajadi, Punclut, Dago, Griya Cempaka Arum, dan sejumlah wilayah lainnya.
Bahkan, kata dia, konflik sosial di masyarakat berujung pada kriminalisasi. Ia mencatat ada Sembilan warga yang menjadi korban kriminalisasi. "Mereka ini adalah korban dari konflik sosial yang dipicu oleh dalahnya dalam tata kelola pembangunan," ujar dia.
Wahyu mengatakan, persoalan banjir dari tahun ke tahun terus mengkhawatirkan. Ia mencatat ada 80 titik genangan banjir di Ciluencang, Kota Bandung. Akibat banjir tersebut, kata dia, jalan-jalan berubah menjadi sungai. Banjir tersebut, kata dia, telah menimbulkan kerugian baik secara meteril maupun nonmaterial.
"Infrastruktur, khususnya jalan menjadi rusak. Warga juga rugi karena banjir mengakibatkan kemacetan di sejumlah titik," ujar dia.
Persoalan lain yang tak pernah terselesaikan, kata Wahyu, yaitu kemacetan lalu lintas, penataan PKL yang buruk, serta kesemrawutan ruang kota Bandung dan masalah sosial lainnya.
Ia menilai, ruang terbuka hijau (RTH) yang disediakan hanya mencapai tujuh persen dari total wilayah kota Bandung sekitar 17.000 hekater. Ia menilai adanya manipulasi luas RTH Kota Bandung.
"Wilayah kawasan bandung utara pun tak pernah tuntas penyelesaiannya. Wilayah it uterus menjadi sasaran perusakan dengan dalin pembangunan," kata dia.
Persoalan yang paling hangat, kata Wahyu, yaitu penyelewenagan dana bantuan sosial dan hibah sebesar Rp 66,5 pada 2009. Ia menilai, uang rakyat itu dengan semena-mena dikorupsi oknum pejabat pemkot dengan dalih untuk membantu masyarakat.
"Persoalan-persoalan tersebut tak boleh dibiarkan dan harus diusut hingga tuntas," kata dia menegaskan.
Dalam aksi tersebut, massa meminta bertemu dengan Ketua DPRD Kota bandung, Erwan Setiawan. Namun keinginan massa bertemu dengan calo wali kota periode 2013-2018 ini tak bisa dipenuhi lantaran Erwan masih mengikuti rapat kerja.
"kegagalan ini harus dipertanggungjawabkan secara kolektif oleh pejabat pemkot terkait," ujar dia.