REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Akunting dan Sistem Pembayaran BI, Boedi Armanto menegaskan tidak ada kartel suku bunga kredit perbankan karena semua bank berkompetisi memberikan penawaran bunga kredit terbaik.
"Kami tegaskan di perbankan Indonesia tidak ada kartel suku bunga kredit. Jadi semua bank akan berkompetisi memberikan penawaran bunga kredit terbaiknya karena mereka juga wajib mencantumkan suku bunga kreditnya," kata Boedi Armanto saat ditemui seusai menghadiri seminar nasional di Jakarta, Rabu (20/3).
Menurut dia, suku bunga kredit perbankan Indonesia masih tinggi disebabkan karena struktur biaya di perbankan nasional masih tinggi, khususnya biaya 'overhead', keuntungan dan biaya lain-lain yang harus dikeluarkan perbankan.
Selama ini, lanjutnya, perbankan tanah air memang cenderung sedang berekspansi sehingga menambah biaya bagi perbankan. Ekspansi tersebut adalah menambah jumlah kantor cabang, biaya membangun infrastruktur serta sumber daya manusia.
"Suku bunga kita masih tinggi disebabkan karena struktur biaya kredit tersebut juga masih tinggi. Sehingga ini harus ditanggung oleh konsumen," ujarnya.
Ia membantah bahwa suku bunga kredit perbankan di Indonesia merupakan yang tertinggi karena perbankan di Tanah Air juga harus mengeluarkan biaya yang tinggi untuk operasional perbankan.
Sementara, perbankan juga masih mencari untung untuk bisa membayar bunga nasabah dan gaji karyawannya. "Suku bunga kredit kita sudah bersaing. Kalau perbankan Indonesia dibandingkan dengan perbankan di Malaysia dan Singapura, rasanya akan tidak seimbang," ujarnya.
Hal tersebut disebabkan dengan penduduk Indonesia yang berada di negara kepulauan ini, perbankan juga harus menginvestasikan seluruh biaya operasional, baik dalam hal sumber daya manusia hingga kantor cabang.
Perbankan yang harus mendirikan kantor cabang di seluruh pelosok ini juga memerlukan biaya investasi yang tidak sedikit. "Kira-kira kalau mau membuka kantor cabang membutuhkan biaya sebesar Rp5 miliar," kata dia.
Ia melanjutkan suku bunga kredit di perbankan Malaysia dan Singapura cenderung akan lebih rendah karena kedua negara tersebut tidak masif dalam membuka kantor cabang.
Namun bila dibandingkan suku bunga kredit di Malaysia dan Singapura, posisi suku bunga Indonesia memang lebih tinggi karena biaya yang ditanggung perbankan Tanah Air juga tinggi.
Untuk meningkatkan efisiensi perbankan, saat ini bank sentral sedang menggodok aturan branchless banking, suatu layanan perbankan tanpa melalui kantor cabang.
"Sekarang sudah marak sms, internet dan era mobile banking. Sehingga ini akan menurunkan cost dari masing-masing perbankan," ujarnya.
Sementara untuk daerah terpencil, layanan akses perbankan masih bisa dilakukan dengan cara agen perbankan akan menemui nasabah.
"Biaya untuk membangun kantor cabang di Jawa, Kalimantan dan Papua pun berbeda. Sehingga hitungan cost ini akan membesar karena hal tersebut merupakan overhead cost-nya," ujarnya.
Di sisi lain, lanjutnya, untuk mengantisipasi pemberlakukan suku bunga yang tinggi, Boedi sudah meminta soal rencana perbankan untuk mencantumkan suku bunga kredit atau suku bunga tabungan, sehingga masyarakat akan bisa mengetahui persaingan tentang suku bunga kredit di masing-masing bank.
Sebelumnya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menduga terjadi praktik oligopoli (kartel) di perbankan Indonesia berdasarkan hasil pemantauan yang dilakukan lembaga tersebut dalam beberapa waktu terakhir.
"Kami mulai memantau beberapa bank sejak beberapa waktu lalu, karena kami menilai ada indikasi praktek oligopoli, atau bisa disebut kartel yang dilakukan oleh perbankan Indonesia," ujar Komisioner KPPU Muhammad Syarkawi Rauf di Jakarta, Rabu (13/3).
Menurut dia, setidaknya ada empat alasan mengapa KPPU memberikan dugaan kepada para pelaku perbankan di Indonesia. Indikasi pertama yaitu tingginya suku bunga di Indonesia, namun tingkat marjin bunga bersih (Net Interest Margin/NIM).
Kedua, terkait struktur market share yang diberlakukan, terkesan ada kelompok bank yang memonopoli. Kemudian, perilaku dari perbankan ditentukan oleh market leader, dalam hal ini bank-bank besar yang ada di Indonesia.
"Kemudian yang keempat, ada inefisiensi perbankan, perbankan Indonesia ini tidak ada persaingan, jadi tidak ada perilaku positif untuk berfikiran menurunkan suku bunga," ujarnya.