REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Umum DPP PPP Soeharso Monoarfa mengatakan, keran demokrasi di Indonesia dibuka secara bebas. Namun pintu demokrasi yang dibuka bebas tanpa diimbangi dengan kemampuan daya beli masyarakat yang memadai menimbulkan maraknya politik transaksional.
“Maka tidak dapat dihindari hanya parpol yang mampu membeli suara yang akan langgeng,” katanya dalam acara diskusi ‘Caleg dan Pencegahan Korupsi’ di Gedung DPP PPP, di Jakarta, Rabu, (20/3).
Anggota parpol yang sudah tidak memikirkan ideologi lagi, ujar Soeharso, akan menggunakan jalan pintas untuk mendapatkan suara terbanyak. Ini memunculkan terjadinya politik transaksional. “Sehingga saat ia terpilih maka saatnya ia melakukan pengembalian modal dengan cara korupsi,”ujarnya.
Calon bupati dan calon gubernur, kata Soeharso, berupaya keras untuk melakukan pengembalian modal saat mereka sudah duduk dalam jabatan yang diharapkannya. Ini tidak bisa dihindari karena biaya promosi agar terpilih tidak murah.
Untuk memasang sebuah iklan di TV dengan durasi 30 detik, terang Soeharso, senilai Rp 20 juta. Namun jika ditayangkan pada jam-jam yang banyak penontonnya misal pagi sampai pukul 9 malam, maka biayanya sekitar 40 juta. “Situasi ini membuat pemenang suara dalam pemilu adalah pemilik modal,” terangnya.
Meski demikian, lanjut Soeharso, PPP walaupun dengan tertatih-tatih ingin mengurangi kasus korupsi di Indonesia dengan mendorong caleg bersih untuk maju. “Tidak semua orang bersih, namun jangan sampai kader kami terperosok dalam kasus korupsi. Kami ingin mengakhiri politik transaksional,”katanya.