Rabu 20 Mar 2013 13:08 WIB

Pemerintah Diminta Kendalikan Perizinan Tambang

Rep: Ahmad Baraas/ Red: Djibril Muhammad
Anggota IV BPK Ali Masykur Musa
Anggota IV BPK Ali Masykur Musa

REPUBLIKA.CO.ID, NUSA DUA - Batubara Indonesia tidak boleh dihabiskan, karena sebagai sumber energi, batubara juga harus diwariskan kepada generasi mendatang. "Dulu kita mengekspor minyak, tapi kini kita justru mengimpor," kata Ali Masykur Musa.

Hal itu dikemukakan Ali Masykur Musa di Nusa Dua Bali, Rabu (20/3), dalam acara 'Indonesia-Cina Coal Summit.' Pada acara itu dia tampil mewakili Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI. Pertemuan dihadiri utusan Indonesia, serta negara-negara Indo Cina, seperti Cina, Korea, Jepang.

Ali Masykur mengatakan, sesungguhnya cadangan batubara Indonesia sangat kecil, yakni hanya sembilan persen dari cadangan batubara dunia. Karena itu sebutnya, agar cadangan batubara Indonesia bisa bertahan lama, pemerintah perlu mengendalikan pemberian izin penambangan batubara.

Menurut anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) itu, pemasukan yang diterima Indonesia tidak seimbang bila dibandingkan dengan dampak yang ditimbulkan penambangan batubara.

Sebagian besar penambangan batubara Indonesa diekspor, sebagian kecil saja untuk konsumsi dalam negeri. Sedangkan kontrbusinya hanya lima persen dari total realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Pada 2010 dan 2011 sebut Ali Masykur Musa, BPK melakukan pemeriksaan terhadap 247 perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) batubara di tujuh kabupaten di Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan.

Berdasar pemeriksaan itu, ditemukan 64 perusahaan yang tidak memuat rencana kegiatan reklamasi, serta 73 perusahaan bahkan tidak menyetor dana jaminan reklamasi.

"Yang lebih ironis, di areal bekas penambangan PKP2B seluas 100,88 ribu hektar, ternyata baru direklamasi seluas 47,80 hektar," kata Ali Masykur.

Ali Masykur juga menyayangkan, hingga saat ini belum adanya peraturan perundang-undangan tentang pengawasan usaha pertambangan itu.

Sehingga kata Ali Masykur, pemerintah daerah tidak memiliki pedoman baku dalam melaksanakan tugas pengawasannya. Padahal pemberian sanksi sangat penting untuk menimbulkan efek jera.

"Hinggga 2012 Kementerian ESDM baru menetapkan 1.992 prusahaan yang clean and clear dari 3.871 perusahaan. Ini sangat disayangkan, karena akan berpengaruh terhadap pembinaan, serta maslah yang trkait dengan royalti," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement