REPUBLIKA.CO.ID, TANJUNGPINANG -- Autis bukan penyakit dan dapat dipulihkan. Alih-alih, autis merupakan suatu gangguan perkembangan yang kompleks menyangkut komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas imajinasi.
"Tetapi itu dapat disembuhkan," kata Pakar autisma Melly Budhiman, Kamis (14/3).
Menurutnya, gejala autis mulai tampak sebelum anak berusia tiga tahun. Berbeda dengan autistik infantile yang gejalanya sudah ada sejak lahir. Diperkirakan 75-80 persen penyandang autistik ini mempunyai retardasi mental.
"Sekitar 20 persen dari mereka mempunyai kemampuan yang cukup tinggi untuk bidang-bidang tertentu," tambah Ketua Yayasan Autisma Indonesia (YAI) tersebut.
Ia mengatakan, akhir-akhir ini banyak pihak yang mengiming-imingi penyembuhan autism. Mulai dari tawaran cara, obat, bahkan suplemen. Terkadang produsen atau si penjual jasa sangat gencar berpromosi melalui televisi, radio, media sosial, bahkan tulisan-tulisan.
Namun, ia meminta orang tua agar berhati-hati. Jangan sampai membiarkan anaknya malah menjadi kelinci percobaan. Karena tidak sedikit orang tua yang terkecoh. Setelah mengeluarkan uang cukup banyak, orang tua kecewa karena hasil yang diharapkan tidak tercapai.
"Padahal biaya terapi cukup mahal, dan biasanya dihitung per jam," ujarnya.
Wakil Kepala SLB Negeri Tanjungpinang, Marsin mengatakan jumlah anak penyandang autism baik di dunia mau pun di Indonesia, mengalami peningkatan dalam 10 tahun terakhir. Di Batam, Tanjungpinang dan Karimun jumlahnya penyandang autism yang masuk SLB sekitar 60 orang.
Namun yang tidak masuk SLB jumlahnya diperkirakan lebih banyak," katanya. Dia memaparkan, pada 1990 jumlah penyandang autisma diperkirakan 1:5.000. Artinya, dari lima ribu kelahiran, satu anak terdeteksi menyandang autisma.
"Angka itu meningkat pesat pada 2000 dengan perbandingan 1:500. Meningkat lagi menjadi 1:100 pada 2009," ujarnya.