Rabu 13 Mar 2013 09:07 WIB

Gerindra: SBY Keluhkan Birokrasi

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon (tengah).
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon (tengah).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Gerindra mengungkapkan mengenai pertemuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan ketua dewan pembina Prabowo Subianto. Dikatakan, birokrasi menjadi salah satu pembahasan antara dua tokoh nasional tersebut.

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon menjelaskan, birokrasi birokrasi menjadi salah satu hambatan pembangunan yang dihadapi Indonesia saat ini. Bahkan, telah menjadi persoalan human capital yang harus ditingkatkan. 

"Kebijakan yang sudah diputuskan presiden, kadang tak dijalankan oleh menteri atau dirjen bahkan bisa dijegal di level direktur. Itu yang disampaikan presiden dalam pertemuan," papar Fadli, Rabu (13/3).

Hal ini, jelas dia, menjadi evaluasi bagi mesin birokrasi yang seharusnya menjalankan kebijakan. Namun, pada kenyataannya malah menjadi penghambat pembangunan.  

Menurut Fadli, pengakuan SBY itu merupakan realitas. Karenanya, harus segera dicari solusi agar kondisi itu tak jalan di tempat. Misalnya, dengan melihat relevansi Perpres Nomor 81/2010 tentang grand design reformasi birokrasi. 

Saat ini, katanya, reformasi birokrasi lebih identik dengan peningkatan insentif melalui remunerasi. Namun faktanya, meski sudah ada kenaikan remunerasi, banyak kebijakan yang tak jalan implementasinya. Atau pelaksanaannya tak seperti yang diharapkan.

"Selain itu birokrasi cenderung membentengi diri. Ini pengakuan presiden.  Ini tentu sangat berbahaya dan mengganggu proses pelayanan masyarakat. Padahal APBN kita sebesar 547 triliun atau lebih dari 30 persen habis untuk membayar gaji aparatur," lanjutnya.

Ia juga menilai, reformasi birokrasi yang berjalan sejak akhir 2006 harus dievaluasi. Artinya, harus ada solusi dari fakta tak berjalannya birokrasi mengenai kebijakan pusat.

Bagi Fadli, birokrasi tak efektif karena presiden kurang tepat dalam menempatkan orang terbaiknya. Misalnya saja di tataran menteri atau pimpinan birokrasi lain. 

"Harusnya, the best and the brightest serta yang punya integritas yang dipilih di bidang masing-masing," jelas dia.

Tak hanya itu, lanjutnya, hak prerogatif presiden juga terbelenggu oleh koalisi partai politik yang tergabung dalam sekretariat gabungan (setgab). 

"BBirokrasi juga seharusnya bersih dari kepentingan politik dan tak boleh jadi alat politik partai manapun. Birokrasi harus melayani rakyat," pungkas Fadli.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement