REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kejadian teror yang dialamatkan pada aparat penegak hukum merupakan bentuk kekecewaan dari sebagian masyarakat. Meskipun, tindakan teror yang ditujukan pada polisi juga tidak dibenarkan.
Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Marsudi Syuhud, mengatakan teror yang ditujukan pada polisi sangat mungkin berhubungan dengan gejala-gejala yang terjadi belakangan ini di Indonesia. Yang paling baru, antara aparat di negeri ini justru ada konflik.
Hal ini, kata Marsudi, menunjukkan ada suatu masalah di antara internal aparat yang belum sepenuhnya selesai. "Antara aparat saja bisa bentrok, berarti ada masalah yang masih belum selesai di internal mereka," kata Marsudi, Selasa (12/3).
Marsudi menambahkan, fenomena teror aparat penegak hukum juga dapat dikaitkan dengan parahnya penanganan polisi terhadap terduga teroris. Seperti kasus beredarnya video kekerasan terhadap terduga teroris yang diduga dilakukan oleh Densus 88. Tindakan densus membasmi teror dinilai sudah melampaui batas hukum yang berlaku di Indonesia. Hal inilah yang memancing emosi sebagian masyarakat.
Menurut Marsudi kejadian teror di kediaman aparat penegak hukum bukan hal biasa. Sebab, sebelum ini belum ada kejadian yang langsung ditujukan pada wilayah pribadi aparat penegak hukum. Hal ini menunjukkan aparat kepolisian dianggap sebagai musuh oleh sebagian masyarakat. Polisi dianggap belum menjalankan fungsi mengayomÍ, mendidik, dan bermanfaat oleh sebagian masyarakat.
"Artinya, di pihak kepolisian masih banyak kekurangan yang harus dibenahi," tambah dia. Bisa jadi, tambah Marsudi, banyak polisi yang dinilai masih melanggar hukum. Padahal posisi polisi adalah penegak hukum. Polisi harus berlaku sesuai dengan hukum yang berlaku, setiap tindakannya harus berpijak pada hukum.