REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, Saleh Partaonan Daulay berpendapat Indonesia perlu memiliki definisi sendiri mengenai terorisme yang mungkin berbeda dengan negara lain.
"Definisi terorisme mungkin berbeda antara negara satu dengan lainnya. Indonesia perlu membuat definisi sendiri yang berkaca dengan situasi sosial politik Indonesia," ujar Saleh di Jakarta, Jumat (9/3).
Karenanya menurut pengajar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu perlu ada redefinisi mengenai terorisme yang lebih sesuai dengan perspektif Indonesia, bukan dari perspektif negara lain.
"Jangan setiap orang yang memakai pakaian dan atribut Islam, dianggap teroris. Atau guru-guru pesantren yang mengajarkan kitab-kitab klasik juga dituduh teroris," tutur Saleh.
Selain itu, Saleh mendesak pemerintah merevisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dengan melibatkan ormas dan lembaga Islam serta elemen masyarakat lainnya.
Menurutnya, undang-undang tersebut dibuat secara terburu-buru berkenaan dengan kasus-kasus bom di Bali dan beberapa kota lainnya, sehingga isinya belum tentu sesuai dengan keinginan masyarakat, bahkan kemungkinan merugikan beberapa kalangan.
"Bagi kalangan yang merasa dirugikan akibat implementasi UU itu, jalan cepat yang bisa ditempuh adalah dengan melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Di sana pihak yang merasa hak konstitusionalnya terganggu bisa melakukan gugatan," imbuh Saleh.