Kamis 07 Mar 2013 20:56 WIB

Sejarawan: Politisi Dahulu Ribut Soal ide, Sekarang Uang dan Proyek

Rep: Muhammad Akbar Wijaya/ Red: Djibril Muhammad

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Konflik elite politik di tanah air semakin menggelikan. Para elite melulu ribut persoalan-persoalan artifisial yang nyaris tak memiliki efek apa-apa bagi kehidupan rakyat kebanyakan.

"Elite hanya asik meributkan kepentingan jangka pendeknya dan uang," kata sejarawan dari Majalah Historia, Bonnie Triyana kepada Republika di Jakarta, Kamis (7/2).

Bonnie mengatakan buruknya kualitas konflik elite politik saat ini lantaran elite gagal merumuskan tujuan berpolitik. Mereka mendistorsi fungsi politik hanya sebagai instrumen merebut kekuasaan dan memupuk kekayaan.

Alhasil demokrasi cuma cerita soal ritus prosedural yang menyangkut soal sirkulasi elite saban pemilu. "Elite kita lupa untuk apa mereka berpolitik," ujarnya.

Sempat pada suatu masa konflik elite politik di Indonesia diwarnai hal-hal yang substansial. Yakni ketika konflik berpijak pada kepentingan ideologis yang menyangkut kemana masa depan bangsa ini akan dibawa.

Bonnie mengatakan konflik semacam itu ramai terjadi pada masa revolusi Indonesia. Ketika itu para elite politik berdebat habis-habisan mengenai ideologi yang paling pas untuk dijadikan sebagai dasar negara.

Tak ada satupun di antara mereka yang berdebat mengenai perkara-perkara remeh seperti pembagian proyek pembangunan, perebutan kursi ketua umum, apalagi hanya soal tafsir kewenangan yang menyangkut penetapan daftar caleg.

"Dahulu Soekarno, Tan Malaka, Hatta, Sjahrir, dan Amir Syarifuddin bertengkar soal gagasan membangun negara. Amir dan Tan Malaka bahkan mati karena membela ideologinya. Tapi hari ini elite hanya ribut soal duit dan rebutan proyek," papar Bonnie.

Kencangnya pertarungan gagasan di antara para elite masa lalu tokoh tidak membuat mereka terjerembab dalam politik saling sandera sebagaimana banyak dilakukan elite politik hari ini.

Tokoh dari kelompok Islam dan kelompok komunis misalnya, usai berdebat habis-habisan soal ideologi negara di badan konstituante tetap bisa duduk bersama.

"Di konstituante antara geng Masyumi dan PKI berdebat habis-habisan. Tapi setelah itu mereka bisa duduk bersama dan ngopi bareng," ujar Bonnie.

Bonnie berharap elite politik hari ini mau mengembalikan tujuan berpolik ke khitahnya. Bahwa politik bukan sekadar ajang unjuk kekuatan ego kelompok dan golongan, tapi juga soal cara menyejahterakan rakyat.

"Marilah politikus mengembalikan khitah berpolitikuntuk memperjuangkan hajat hidup orang banyak," ujar Bonnie.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement