REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Munculnya wacana pembubaran Detasemen Khusus (Densus) 88 oleh sejumlah Ormas Islam baru-baru ini menimbulkan banyak tanggapan. Mereka menganggap Densus 88 telah melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat selama menjalankan tugasnya.
Sejumlah pihak ikut tegas mendukung usulan tersebut dengan melihat problematika yang dihadirkan Densus 88 belakangan ini. Indonesian Police Watch (IPW) menilai, sebaiknya sepak terjang Densus 88 segera dinonaktifkan. Selain masalah kesemena-menaan para anggotanya dalam memberantas terorisme, seluk beluk korps ini pun terkesan ditutupi.
IPW mencontohkan terkait anggaran yang menurut hingga kini tidak jelas berapa anggarannya. “Legislatif pun tidak tahu berapa uang yang masuk ke Densus 88 ini. Tapi yang jelas, ada dana asing yang ikut membiayai Densus 88 selama ini,” kata Presdir IPW Neta S Pane, Senin (4/3).
Ketidakjelasan yang terus berlangsung sejak Densus 88 berdiri tahun 2003 ini, menurut IPW, wajar memunculkan tanda tanya. Terlebih, adanya campur tangan kepentingan asing dalam misi yang diusung Densus 88 dalam memberantas terorisme semakin terlihat dari bagaimana mereka memperlakukan pelaku teror.
Ada anggapan, kata Neta, karena Asinglah yang memberi dana pada Densus 88, membuat kelakuan mereka layaknya cerminan kebencian barat pada terorisme. Maka tak heran, mengapa sering ditemui kasus-kasus pelanggaran HAM oleh Densus 88 kepada pelaku terorisme.
“Mungkin saja terjadi intervensi langsung dari asing dalam pergerakan Densus 88 selama ini. Karena kan memang itu sangat masuk akal bila sebuah orgnisasi loyal kepada pendonornya,” ujar Neta. Untuk itu, demi menemukan fakta intervensi asing dalam detasemen ini, IPW meminta agar dilakukan kontrol ketat pada Densus 88 beserta anggarannya.