REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembahasan RUU Ormas menunai kritik dari beberapa ormas maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Koalisi Akbar Masyarakat Sipil Indonesia (KAMSI). Seyogianya pemerintah dan DPR menilai wajar penolakan itu sebagai bagian dari aktualisasi kebebasan berpendapat.
Meski begitu, sebaiknya rencana pengesahan RUU Ormas pada pertengahan Maret ini tidak molor dari jadwal karena aturan itu dibutuhkan untuk penataan berorganisasi. Anggota Divisi Pengkajian Kebijakan Publik, Pusat Hak Asasi Muslim Indonesia (Pushami), Jaka Setiawan, menyatakan, UU 8/1985 tentang Ormas tidak relevan lagi diberlakukan.
Pasalnya, paradigma kontrol negara terhadap kehidupan politik dan sosial masyarakat, sudah tidak sesuai dengan semangat reformasi. Namun demikian, Jaka menekankan, RUU Ormas harus menjamin kebebasan masyarakat dan keberadaan ormas itu sendiri.
“RUU Ormas wajib berprinsip pada pelaksanaan Hak Asasi Manusia (HAM) dan mendorong terciptanya transparansi dalam pengelolaan anggaran,” katanya, Ahad (3/3).
Untuk itu, Pushami berpandangan, RUU Ormas harus memenuhi beberapa kaidah untuk bisa mendorong terciptanya pengelolaan sumber keuangan yang transparan dan bertanggung jawab. Jaka setuju kalau pendanaan asing dari founding agency yang banyak menguasai LSM, apalagi yang menyangkut menjalankan agenda asing, perlu dikontrol.
Ia menyarankan agar pemerintah memiliki kewenangan memotong rantai pendanaan ormas yang menjalankan agenda asing. Dengan begitu, RUU Ormas bisa menciptakan pengaturan tentang pelaporan keuangan, siapa mitranya, dan program yang dijalankan bisa dipertanggung jawabkan.