REPUBLIKA.CO.ID, BALIKPAPAN -- Kawasan habitat gajah Kalimantan (Elephas maximus borneensis) di Kecamatan Tulin Onsoi, Kabupaten Nunukan, yang berada dalam kawasan Jantung Borneo (Heart of Borneo), terancam dikonversi menjadi hamparan tanaman karet, jabon, dan sengon.
Menurut Agus Suyitno, Staf WWF-Indonesia Program Kalimantan Timur untuk Mitigasi Konflik Gajah-Manusia, PT Borneo Utara Lestari (PT BUL) dan PT Intracawood Manufacturing (PT IWM) saat ini telah mengantongi izin prinsip dari Pemkab Nunukan dan sedang melakukan studi AMDAL (Anasilis Mengenai Dampak Lingkungan) untuk mendapatkan izin usaha HTI (Hutan Tanaman Industri).
"Bila rencana ini diteruskan, kami khawatirkan gajah Kalimantan akan punah karena habitatnya berubah," kata Agus, Kamis (26/2).
Agus menjelaskan analisis yang dilakukan WWF-Indonesia menunjukkan bahwa 66 persen kawasan yang diusulkan untuk dikonversi oleh PT BUL dan 100 persen kawasan yang diusulkan PT IWM merupakan habitat gajah.
Sebab itu, ujarnya, konversi habitat satwa yang terancam punah untuk pembangunan HTI semestinya tidak dilakukan, karena jika rencana konversi ini terus berjalan dikhawatirkan semua populasi gajah Kalimantan akan hilang, apalagi mengingat sebaran gajah Kalimantan hanya sampai di Kecamatan Tulin Onsoi.
Konversi habitat tersebut juga bertentangan dengan Permenhut No.P44/Menhut-II/2007 tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi untuk Gajah Sumatera dan Gajah Kalimantan.
"Penerbitan izin HTI di areal habitat gajah akan berdampak negatif bagi masyarakat setempat. Jika kawasan tersebut dibuka, gajah-gajah liar akan kekurangan pakan alaminya. Akibatnya, gajah akan mencari makan di pemukiman masyarakat sehingga memicu terjadinya konflik," kata Agus Suyitno menjelaskan.
Konflik gajah-manusia sudah mulai terjadi sejak 2005, sehingga menurut WWF pembangunan HTI tersebut justru akan memperparah konflik dan semestinya dihentikan operasinya atau dibatalkan izin-izinnya.
"AMDAL perusahaan tersebut harus sesuai dengan fakta lapangan. Meskipun berada pada (KBK) Kawasan Budidaya Kehutanan, jika kondisi di lapangan kawasan berada pada habitat gajah, areal tersebut jangan dibuka, risikonya besar dan biayanya tinggi," kata Santifil Oslo, Camat Tulin Onsoi.
IUCN (lembaga pemerhati satwa internasional) menggolongkan gajah kerdil Kalimantan atau yang kerap dijuluki 'Borneo pygmy elephant' ini dalam kategori genting (endangered).
Hasil penelitian WWF-Indonesia dan BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) Kaltim pada tahun 2007-2012, memperkirakan populasi gajah kerdil tersebut berada pada kisaran 20-80 ekor saja.
Gajah Kalimantan itu disebut `kerdil? karena ukuran tubuhnya yang relatif paling kecil di antara subspesies gajah lainnya di dunia, yaitu gajah Asia baik yang di Sumatera maupun di dataran Asia, apalagi gajah Afrika.
Masyarakat Dayak Agabag di Tulin Onsoi menyebut gajah ini dengan sebutan nenek?. Mereka menganggap satwa ini adalah satwa sakral yang tidak boleh diganggu atau dimusuhi.
Ilay, wakil ketua adat besar Sungai Tulid, salah satu kawasan yang menjadi wilayah jelajah gajah kerdil Kalimantan menyatakan, menolak tegas jika wilayah tersebut dibuka, karena di wilayah itu juga terdapat hutan adat kami.
"Jika hutan kami dibuka lagi 'nenek' akan marah dan pasti sering datang ke kampung, memakan tanaman kami," katanya.
Untuk mengurangi risiko konflik gajah, BKSDA Kaltim, Pemerintah Kabupaten Nunukan dan WWF-Indonesia bahu membahu bekerja sama membentuk Satgas (satuan tugas) mitigasi konflik gajah yang beranggotakan masyarakat dari 11 desa di kecamatan Tulin Onsoi.
Tugas utama satgas adalah melakukan pencegahan dan penanggulangan konflik gajah. Upaya ini sedikit demi sedikit mulai menampakkan hasil, karena intensitas kunjungan gajah ke pemukiman masyarakat kini semakin menurun.