Kamis 28 Feb 2013 17:51 WIB

Kisah Seorang Ibu Menerobos Kerahasiaan Bank

  Petugas menyiapkan pasokan uang tunai untuk kebutuhan anjungan tunai mandiri di salah satu kantor bank di Jakarta, Jum'at (21/12).  (Republika/Aditya Pradana Putra)
Petugas menyiapkan pasokan uang tunai untuk kebutuhan anjungan tunai mandiri di salah satu kantor bank di Jakarta, Jum'at (21/12). (Republika/Aditya Pradana Putra)

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh Erik Purnama Putra

 

Raut muka Magda Safrina tampak semringah selepas meninggalkan ruang sidang lantai dua gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (28/2). Dia sangat senang dengan keputusan hakim konstitusi yang mengabulkan sebagian gugatannya.

Magda mengajukan uji materiil (judicial review) Pasal 40 Ayat 1 dan 2 UU 10/1998 juncto UU 7/1992 tentang Perbankan. Dalam pasal itu disebutkan, bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya.

 

Gara-gara kehidupan keluarganya tidak lagi harmonis, Magda dan suaminya memilih jalur perceraian lewat Mahkamah Syariah Banda Aceh. Karena itu, pada Januari 2012, sidang perceraian untuk pertama kalinya digelar. Dalam persidangan itu, ia meminta rekomendasi dari hakim agama untuk membuka rekening keluarga.

 

Sayangnya, bank enggan memenuhi permintaan wanita berjilbab itu lantaran terbentur aturan kerahasiaan nasabah. Ditolak bank, Mahkamah Syariah Banda Aceh tidak bisa berbuat apa-apa.

 

Tidak kurang akal, ia memutar otak. Atas saran koleganya, di sela proses perceraian berlangsung, pihaknya mendaftarkan gugatan ke MK. Dia mengacu UU 1/1974 tentang Perkawinan terkait pembagian harta bersama pada saat perceraian diatur kompilasi hukum Islam.

 

Idealnya, menurut dia, seluruh harta yang diperoleh selama pernikahan berlangsung, baik istri ataupun suami menjadi harta bersama. Sayangnya, mantan suaminya menyangkal keberadaan deposito dan sejumlah harta yang bersumber dari harta bersama. “Pas cerai, saya tidak dapat apa-apa, dan tabungan dibawa suami semua,”

 

Magda menjelaskan, sikap ngototnya itu lantaran sejak awal menikah sudah memiliki pendapatan sendiri dari hasil bekerja sebagai karyawan swasta. Gaji yang didapatkannya, digunakan untuk menghidupi kebutuhan rumah tangga dan pendidikan anak. Adapun, pendapatan suaminya lebih banyak digunakan untuk kepentingan sendiri.

 

Dia merasa diperlakukan secara tidak adil dan dianggap sebagai perempuan domestik. Magda sangat tidak terima pembagian harta perceraian dilakukan secara tak jelas, apalagi sejak bercerai memilih berhenti bekerja dan beralih menjadi wiraswasta.

 

Magda mengikuti proses sidang tanpa didampingi kuasa hukum lantaran tidak punya biaya untuk membayar pengacara. Sidang perdana uji materiil berlangsung pada 27 Juni 2013. Karena kedudukan hukum (legal standing) sangat jelas, sidang hanya digelar tiga kali saja. Di tengah menunggu putusan di MK, hakim agama mengabulkan proses perceraian pada November 2012.

 

Wanita yang tinggal di Jalan PPA Nomor 45A, Kelurahan Bambu Apus, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur ini mengapresiasi putusan MK yang mengabulkan gugatannya. Dia merasakan, aturan kerahasiaan perbankan sangat menghalanginya untuk memperoleh informasi atas harta gono-gini, terutama mengenai pemeriksaan deposito berserta simpanan yang dimilikinya bersama mantan suami.

“Saya bersyukur sekali. Dengan ini, saya bisa mendapatkan hak-hak saya untuk dana pendidikan anak saya,” katanya.

 

Hakim konstitusi Akil Mochtar menyatakan, Pasal 40 Ayat 1 UU Perbankan memberikan pengecualian data nasabah yang bisa diakses. Dijelaskannya, Pasal 43 mengatur perkara perdata antarbank dengan nasabahnya bisa dijadikan patokan untuk membuka data nasabah.

 

Menurut Akil, sangat memenuhi rasa keadilan apabila data nasabah bisa dibuka untuk kepentingan peradilan perdata terkait harta bersama. “Karena harta bersama adalah harta milik suami dan istri, sehingga keduanya harus mendapat perlindungan atas haknya tersebut,” kata Akil saat membacakan putusan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement