REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Tujuh perusahaan perusahan alih daya anggota Asoisasi Bisnis Alih Daya Indonesia (ABADI), Kadin, dan Apindo menggugat peraturan menteri tenaga kerja dan transmigrasi (permenakertrans) Nomor 19 Tahun 2012 tentang outsourcing kepada Mahkamah Agung (MA).
Penasehat hukum penggugat, Darmanto, mengatakan ada dua pasal dalam permenakertrans yang diteken pada 14 November 2012 yang ingin dilakukan uji material. Pemerintah memberikan jangka waktu satu tahun untuk dilakukan penyesuaian aturan ini. Gugatan resmi dilayangkan pada 14 Februari lalu.
Darmanto menjelaskan pasal yang ingin diuji materi yakni pasal 1 ayat 3 dan pasal 17 ayat 3. Pada pasal 1 ayat 3 disebutkan bahwa penyedia jasa pekerja merupakan perusahaan yang berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas (PT). Darmanto menilai poin ini tidak pas lantaran hanya PT yang diizinkan 'memberikan' jasa alih daya.
“Ketentuan ini membatasi, padahal perusahaan yang berbadan hukum itu tidak hanya PT, tapi bisa koperasi, yayasan,” ujar Darmanto, Kamis (28/2).
Sementara itu, pasal 17 ayat 3 digugat untuk diuji karena dinilai membatasi jasa outsourcing yang diperbolehkan. Dalam pasal tersebut diatur bahwa hanya lima jenis pekerjaan yang diperbolehkan untuk outsourcing.
Pekerjaan itu adalah cleaning service, catering, security atau satpam, usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan serta usaha penyediaan angkutan bagi pekerja/buruh. Sementara, pekerjaan alih daya selama ini bernaung dalam Undang-undang tenaga kerja nomor 13 tahun 2003.
Ketua Umum ABADI, Wisnu Wibowo, mengatakan aturan mengenai outsourcing merugikan semua pihak, termasuk tenaga kerja. Menurutnya, adanya aturan ini membuat banyak pekerja outsourcing yang terpaksa tidak dilakukan perpanjangan kontrak karena tidak memenuhi ketentuan tenaga kerja yang diperbolehkan untuk dialih-dayakan. “Banyak yang tidak diperpanjang kontraknya, makin banyak yang melakukan mekanisasi (untuk mengganti pekerja),” ujar Wisnu.