Rabu 27 Feb 2013 17:48 WIB

Mega Minta SBY Contoh Kebijakan Migas Zaman Soekarno

Rep: Muhammad Akbar Wijaya/ Red: Djibril Muhammad
Megawati Soekarnoputri
Foto: Antara/Ari Bowo Sucipto
Megawati Soekarnoputri

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) belum serius mengatur tata kelola migas di tanah air. Alhasil masyarakat sering dirugikan dengan kebijakan-kebijakan energi yang dikeluarkan pemerintah.

"Kalau harga BBM dinaikkan, apa yang dicari sebenarnya? Pertamina milik siapa ya? BUMN dibilang merugi, saya bilang bohong kalau merugi, karena barangnya ada di sana," kata Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarno Putri dalam pidato 'Seminar Nasional Migas untuk Kemandirian Energi' di Komplek MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (27/2).

Ia menilai, rusaknya tata kelola migas karena para pemegang kebijakan dan operator di lapangan tidak bekerja dengan benar. Megawati mengatakan situasi pengelolaan migas saat ini berbeda dengan dengan era Presiden Soekarno.

Pada zaman Soekarno kebijakan migas berdiri di atas prinsip Trisakti. Yaitu, berdaulat di bidang politik, berdiri di atas kaki sendiri di bidang ekonomi, dan berperikebadian budaya.

"Zaman kecil saya, di dapur istana pakai gas, datang dari Bogor pakai pipa. Kok bisa ya zaman segitu? Kok sekarang kita ribut, diskusi gas atau minyak, kalau gas subsisi berapa," kata Megawati.

Megawati mengatakan perusahaan asing mulai Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Norwegia, Republik Rakyat Tiongkok, hingga Meksiko telah menguasai puluhan blok migas di Indonesia.

Megawati mendesak pemerintah dan DPR menyusun Undang-Undang Minyak dan Gas (Migas) yang bersemangat 'merah putih' yakni yang benar-benar sejalan dengan konstitusi dan Pancasila. "Saya bukan anti asing tapi saya cinta kepada Republik Indonesia ini," katanya menegaskan. 

Para pendiri Republik menurut Megawati telah meletakkan gagasan besar bagaimana agar para insyinsur Indonesia dengan spirit nasionalismenya mampu mengolah sumber daya migas yang begitu besar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement