Rabu 27 Feb 2013 16:03 WIB

'Caleg Perempuan Hanya Beban dan Pemanis Ketimbang Aset'

Rep: Ira Sasmita / Red: Djibril Muhammad
Rieke Diah Pitaloka
Foto: Antara
Rieke Diah Pitaloka

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keterpilihan calon anggota legislatif (caleg) perempuan pada penyelenggaraan pemilu cenderung dipandang hanya sebagai pelengkap. 

"Partai politik cenderung memandang caleg perempuan sebagai beban daripada sebagai aset dalam berpolitik," kata peneliti Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP Universitas Indonesia (UI), Wahyu Ichwanuddin, di Jakarta, Rabu (27/2).

Dari riset yang dilakukan Puskapol UI, berdasarkan hasil pemilu legislatif 2009, menurut Wahyu, suara caleg perempuan totalnya mencapai 22 persen. Yang terdiri dari 103 caleg perempuan untuk DPR, 321 kursi perempuan di 33 DPRD Provinsi, dan 1.857 perempuan anggota DPRD di 458 kabupaten/ kota.

Namun keterpilihan caleg perempuan tersebut hanya dijadikan sebagai pemenuhan kebutuhan parpol menjelang pemilu. Sebagai pemenuhan syarat yang diaturkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). 

Tren keterpilihan perempuan dan nasional, lanjut Wahyu, tidak konsisten. Semakin ke tingkat lokal, justru cenderung rendah. Bajkan masih ada sejumlah DPRD kabupaten/ kota yang tidak memiliki anggota perempuan.

Selain itu, mayoritas caleg yang terpilih berada di nomor urut atas, yakni nomor urut 1, 2, 3. Sedangkan caleg perempuan biasanya selalu ditempatkan pada nomor urut bawah.

"Mayoritas yang terpilih, mereka yang punya hubungan keluarga dengan elit parpol. Jadi hampir 60 persen caleg perempuan terpilih karena oligarki," ujar Wahyu.

Undang-Undang Pemilu Nomor 8 Tahun 2012 disebut Wahyu memang telah mengakomodir tentang keharusan parpol mengusung caleg perempuan minimal 30 persen. Tetapi, ada persoalan jangka panjang yang sebenarnya lahir akibat aturan itu.

Karena parpol hanya berusaha memenuhi kuota menjelang pemilu legislatif diadakan. Sedangkan kualitas caleg perempuan kurang diperhatikan.

"Selama ini, institusi politik seperti parpol dan parlemen belum ramah terhadap perempuan. Secara jumlah sudah bagus, tapi perempuan tidak ditempatkan pada posisi strategis," ungkapnya.

Dari penelitian Puskapol UI, dikatakan Wahyu, 40 persen anggota parlemen tidak pernah terlibat dalam penyusunan anggaran. Sebagian besar perempuan diposisikan pada jabatan-jabatan atau komisi yang bersinggungan dengan persoalan perempuan semata. Sedangkan posisi strategis seperti Badan Legislasi, Badan Anggaran, sepi perempuan. 

Tidak hanya di parlemen, dalam parpol pun perempuan jarang ditempatkan dalam kepengurusan inti dan strategis. Misalnya saja badan pemilu atau kaderisasi parpol yang nyaris didominasi politisi laki-laki.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement