REPUBLIKA.CO.ID, BANDARLAMPUNG -- Komisi Pemberantasan Korupsi harus segera "membersihkan" dirinya dalam pertaruhan kredibilitas saat menangani perkara korupsi melibatkan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum maupun elite parpol lainnya, kata pengamat hukum dari Lampung, Dr Wahyu Sasongko SH MH.
Menurut pengajar di pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Lampung (Unila), di Bandarlampung, Rabu,tidak keliru apabila publik kemudian memberikan penilaian dan penafsiran negatif terhadap langkah hukum KPK itu.
Hal tersebut berkaitan sorotan tajam cenderung negatif kemungkinan skenario politik terhadap KPK setelah menetapkan Anas Urbaningrum menjadi tersangka korupsi Hambalang.
Dia menganalisis, berdasarkan peristiwa atau fakta yang terjadi itu memang tampak bahwa ada korelasi antara hukum dan politik sehingga wajar apabila hal itu ditafsirkan ada skenario seolah-olah terjadi "stereo" antara keinginan politik dan teknis hukum.
Wahyu menguraikan, indikasinya adalah survei politik, dan reaksi tokoh Partai Demokrat agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selaku Ketua Majelis Tinggi dan Ketua Dewan Pembina partai itu untuk turun tangan, termasuk munculnya bocoran Sprindik, pengambilalihan "kekuasaan dan wewenang AU sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, akhirnya penetapan AU sebagai tersangka sebagai klimaksnya.
"Rentetan peristiwa itu mengarah bahwa KPK masuk dalam perangkap jejaring politik," kata dosen yang juga pernah aktif dalam Gerakan Rakyat Antikorupsi (GERAK) Lampung itu pula.
Karena itu, menurut Wahyu, KPK harus segera "membersihkan" atau membuktikan bahwa bocornya Sprindik dan penetapan tersangka AU benar-benar imparsial dan objektif.
Wahyu sependapat bahwa saat ini posisi KPK seperti "di ujung tanduk" untuk membuktikan diri sebagai murni lembaga hukum pemberantas korupsi atau cuma menjadi organ kekuasaan dan politik penguasa yang dapat mengintervensinya.
"Ya, KPK harus mempertaruhkan kredibiltasnya, tidak cukup hanya retorika yang cenderung bersifat aksi-reaksi. Situasi itu ada kemungkinan tercipta bukan kemauan para Komisioner KPK. Tapi, skenario para politisi," kata Wahyu pula.
Apalagi, ujar dia, pasal-pasal yang didakwakan kepada AU terkesan mau cepat.
"Kalau cuma pasal-pasal itu, sesungguhnya KPK bisa lebih cepat menetapkan AU sebagai tersangka," kata dia lagi.
Dia juga mendukung upaya KPK yang juga harus berani menindak tegas "orang dalam" yang terbukti membocorkan Sprindik atau rahasia internal KPK.
"Itulah yang menjadi beban pembuktian oleh KPK. Berapa banyak orang atau oknum yang terlibat dan pada bagian apa saja dalam struktur lembaga KPK," kata dia.
Semua itu, ujar Wahyu, mengarah pada tuntutan agar KPK kalau mau imparsial, objektif, dan mandiri harus memiliki staf penyidik dan penuntut sendiri.
Apalagi harapan publik pada pemberantasan korupsi saat ini masih tetap bertumpu di KPK dibandingkan institusi penegakan hukum lainnya yang dinilai masih "tumpul di atas dan tajam di bawah", sehingga reaksi terhadap kinerja KPK justru menunjukkan harapan yang sangat besar pada KPK daripada penegak hukum lain dalam pemberantasan korupsi.
"Jadi, jangan menuduh pendapat kritis terhadap KPK sebagai sikap anti-KPK," kata Wahyu Sasongko pula.