REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA--Sistem asuransi bagi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri dinilai belum optimal memberi perlindungan bagi pahlawan devisa. Masih banyak TKI yang tidak mengurus klaim asuransi akibat informasi minim dan pengurusan klaim yang bertele-tele.
Alhasil banyak TKI yang tidak melakukan klaim atau menggunakan jasa calo untuk melakukan klaim sehingga cenderung dijadikan sapi perah oleh calo. Kondisi itu disampaikan Peneliti Pusat Hukum dan HAM (Pusham), Universitas Surabaya, Dian Noeswantari dalam Sosialisasi Hak Asasi Manusia tentang Perlindungan TKI Melalui Asuransi oleh Kanwil Kementerian Hukum dan HAM di Surabaya, Selasa (26/2).
Ia mengungkapkan, dari hasil penelitian, selama ini TKI tidak mendapatkan salinan polis asuransi yang selalu dibawa oleh pelaksana penempatan TKI swasta (PPTKIS). Sementara, di sisi lain tidak ada sanksi bagi PPTKIS yang tidak memberikan salinan polis kepada TKI atau ahli waris yang sah.
Sejak 2012 terdapat 5.700 klaim asuransi yang ditolak. Dari jumlah tersebut sebanyak 4000 disebabkan TKI belum bekerja selama tiga bulan sesuai dengan syarat yang sudah disepakati dengan pihak asuransi. “Banyak TKI kita yang belum lama bekerja di luar negeri, namun mereka sudah mendapatkan kekerasan,” jelasnya.
Ia menambahkan, selama ini konsorsium asuransi masih meminta surat PHK dari majikan sebagai salah satu prasyarat dokumen klaim asuransi. Praktik tersebut tidak sesuai denganPeraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 1 tahun 2012, yang menyebutkan bahwa dokumen yang diberikan hanya berupa surat keterangan dari Kantor Perwakilan NKRI setempat tempat TKI bekerja.
Memang, ia mengakui dalam beberapa kasus TKI meninggal dunia pengurusan klaim asuransi bisa mudah, tapi itu lantaran mendapat sorotan media. "Banyak TKI yang mengalami kekerasan yang tidak tersorot media dan tetap susah melakukan klaim asuransi," katanya.