REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Hingga saat ini pernikahan dibawah umur di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) masih marak. Meski jumlahnya tidak mencapai 100 kasus per tahun namun lebih dari 70-an kasus setiap tahunnya.
Dari lima kabupaten/kota di DIY, Kabupaten Gunungkidul penyumbang terbanyak kasus pernikahan di bawah umur ini. "Dari prosentasenya sebagian besar memang dari Gunungkidul," terang Kasie Kepenghuluan Kanwil Kementruan Agama DIY, Sya'ban Nuroni kepada Republika Online, Rabu (20/2).
Menurutnya, berdasarkan undang-undang umur minimal calon mempelai yang akan menikah adalah 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki. Namun banyak kasus umur calon penganten kurang dari ketentuan itu. Banyak penyebab pernikahan dilakukan dibawah umur. Namun rata-rata akibat pergaulan anak muda.
"Pernikahan dibawah umur ini konsekuensinya harus ada izin dari pengadilan agama. Sehingga prosesnya lama, menunggu izin tersebut," kata Sya'ban. Hal ini kata dia, sering menjadi kendala tersendiri bagi para penghulu di DIY.
Padahal, hal tersebut tidak ada kaitanya dengan substansi pernikahan itu sendiri dalam hukum Islam. Namun untuk memenuhi peraturan undang-undang hal itu harus tetap dipenuhi.
Selain pernikahan di bawah umur, masalah lain yang sering dihadapi penghulu di DIY adalah pencatatan pernikahan yang dilakukan di luar negeri. Dikatakan Sya'ban, seringkali pernikahan yang dilakukan di luar negeri tidak segera dilaporkan ke Kantor Urusan Agama (KUA) setempat setelah yang bersangkutan kembali ke Indonesia.
Padahal secara aturan, pernikahan yang dilakukan di Luar Negeri harus dicatatkan kembali di KUA terdekat maksimal satu tahun setelah yang bersangkutan berada di Indonesia. "Banyak kasus laporan ke KUA setelah bertahun-tahun di Indonesia. Itu juga karena untuk mengurus akte anaknya," jelas Sya'ban.
Dijelaskannya, seseorang yang menikah di luar negeri juga akan mendapat buku nikah. Nah buku tersebut harus dicatatkan ke KUA terdekat. Nanti KUA akan membubuhkan keterangan dibuku nikah yang bersangkutan. Jika tidak ada maka buku nikah itu tidak akan diakui oleh pemerintah. Sehingga kepengurusan surat terkait buku nikah akan sulit dilakukan seperti akte anak, pindah penduduk dan sebagainya.
Terkait hal ini, di DIY sendiri sedikitnya ada 10 kasus setiap tahunnya. Sebagian besar mereka menikah di Arab Saudi, Thailand, Korea dan Malaysia. Sebagian adalah para Tenaga Kerja Indonesia di negara tersebut.
Terpisah Kabid Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kanwil Kemenag DIY, Zainal Abidin mengatakan, berdasarkan data jumlah pernikahan di DIY pada 2012 lalu mencapai 26.430 pernikahan. Sementara jumlah penghulu yang ada di DIY hanya 160 orang termasuk kepala KUA. "Ada 78 kepala KUA yang juga sebagai penghulu. Tapi mereka adalah jabatan struktural bukan fungsional," terangnya.
Dengan jumlah itu komposisi antara penghulu dan jumlah pernikahan di DIY tidak ideal. Menurutnya, idealnya satu penghulu setiap tahun menikahkan 125 pengantin saja. Namun dengan jumlah tersebut satu penghulu di DIY bisa menikahkan 160 hingga 180 pengantin setiap tahunnya.