REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Gerindra menuding pemerintah malas dan tidak mau bekerja keras. Indikatornya, produksi minyak Indonesia yang terus mengalami penurunan.
"Turunnya produksi minyak kita lebih karena pemerintah yang malas mencari cara dan lamban bergerak memberdayakan potensi minyak yang ada. Termasuk produksi energi alternatif terbarukan seperti biodiesel dan bioetanol," kata Wajuk Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon, Senin (18/2).
Menurutnya, jika pemerintah mau bekerja keras maka produksi minyak pun akan meningkat. Sehingga, tak perlu impor lagi dan harga bahan bakar bisa semakin terjangkau.
Ia menjelaskan, tingkat produksi minyak Indonesia terus mengalami penurunan. Pada 2012, produksi minyak sudah merosot ke angka 826 ribu barel per hari. Tahun ini, produksi minyak hanya ditargetkan 830 ribu barel perhari.
Merosotnya produksi minyak dinilainya terus terjadi di dua periode pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pada 2007, turun menjadi 964 ribu barel.
Kemudian di 2012 menjadi 826 ribu barel per hari. "Bandingkan dengan 2001 yang mampu memproduksi 1.3 juta barel per hari," papar dia.
Fadli mengatakan, kebutuhan minyak nasional mencapai 1.3 juta barel per hari. Sementara produksi hanya mampu 826 ribu barel per hari. Maka, sisanya harus ditutupi lewat impor dan biaya subsidi.
Ia pun menyesalkan pemerintah yang selalu berdalih penyebab penurunan produksi karena berkurangnya cadangan minyak. Terutama lantaran usia sumur yang sudah tua. Padahal, hal ini dianggapnya belum tentu benar.
Pada awal periode kedua SBY, lanjutnya, ada 52 sumur minyak milik Pertamina yang menganggur. Selain itu, ada juga sumur minyak yang dihentikan kegiatan operasinya oleh Pertamina karena tak ada dana.
Lebih jauh, tambah Fadli, saat ini 90 persen eksplorasi minyak masih terpusat di kawasan barat. Padahal potensi minyak di kawasan timur juga sangat besar.
Masih ada 100 blok di kawasan timur yang diprediksi memiliki cadangan minyak besar. Tapi tak dieksplorasi. Ini semua menunjukkan malasnya pemerintah kita berpikir dan bekerja.
"Minimnya produksi minyak, selalu diikuti oleh impor yang rawan perburuan rente. Nah, selalu ada pihak yang diuntungkan impor," tuturnya.