Kamis 14 Feb 2013 07:46 WIB
Resonansi

Akuntabilitas Politik

Azyumardi Azra
Foto: Republika/Daan
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Azyumardi Azra

Kemerosotan atau belum adanya perbaikan dalam ‘akuntabilitas politik’ hampir bisa dipastikan masih merupakan salah satu masalah pokok perkembangan politik Indonesia dalam masa pascaSoeharto.

Kenyataan ini bisa terlihat dari terus merebaknya kasus-kasus korupsi atau suap yang melibatkan banyak pejabat publik (Menteri, mantan Menteri, Gubernur, wali kota, Bupati), anggota DPR pada berbagai tingkatan atau petinggi parpol yang melakukan kolusi dan nepotisme dengan pengusaha dan karib kerabat masing-masing.

Pertumbuhan demokrasi—di mana kian banyak pejabat publik dan pemerintahan menduduki jabatan melalui Pemilu—tidak berjalan seiring dengan peningkatan akuntabilitas politik. Padahal, mereka semestinya menjaga akuntabilitas—bertanggungjawab kepada rakyat karena posisi yang mereka dapatkan tidak lain lewat pemberian suara atau amanah dari rakyat.

Akuntabilitas politik adalah salah satu unsur penting demokrasi untuk bisa berjalan baik dan mendatangkan maslahat sebesar-besarnya bagi seluruh warganegara. Akuntabilitas politik mengacu pada kewajiban dan tanggungjawab pemangku jabatan publik untuk mengambil kebijakan dan melakukan langkah untuk sebesar-besar kepentingan publik secara keseluruhan. Jika tidak, pemegang jabatan publik bersangkutan menghadapi konsekuensi hukum dan politik.

Tetapi akuntabilitas umumnya tidak terbatas pada pejabat publik dan pemerintahan yang bergerak dalam sektor publik. Akuntabilitas niscaya juga perlu pada sektor-sektor kehidupan lainnya; perusahaan swasta, LSM/NGO, ormas, dan bahkan keluarga. Tanpa akuntabilitas, bidang-bidang ini juga bakal mengalami kekacauan. Karena itu banyak pakar bidang ini menyimpulkan, akuntabilitas sedikitnya mencakup; politik, administratif, manajerial, moral-etik, pasar-usaha bisnis, legal-yudisial, konstituensi politik, profesional, dan kepemimpinan.

Akuntabilitas politik khususnya bagi para pejabat publik dan pemerintahan dapat bersifat formal prosedural. Dari segi ini, mereka mempertanggungjawabkan posisi dan wewenang sesuai dengan ketentuan dan hukum yang berlaku. Jika melanggar akuntabilitas politik, pejabat publik bersangkutan mesti dihadapkan ke meja hukum dan dijatuhi hukuman seberat-beratnya.

Hukuman ringan dan basa-basi belaka tidak menimbulkan efek jera, dan sebaliknya mendorong pejabat publik lainnya mencari kesempatan melakukan korupsi dan tindakan lain yang melanggar prinsip akuntabilitas. Tetapi, akuntabilitas politik lebih daripada sekadar formal prosedural sesuai ketentuan administratif. Jika hanya bersifat formal prosedural administratif, tidak jarang pejabat publik merekayasa bukti-bukti pertanggungjawaban ‘aspal’ (asli tapi palsu), yang terlihat memenuhi syarat-syarat pertanggungjawaban administratif.

Karena itulah perlu adanya akuntabilitas moral dan etik. Di sini akuntabilitas lebih daripada sekadar pemenuhan ketentuan formal prosedural administratif, tetapi berdasarkan nilai dan prinsip moral dan etis yang dapat ditumbuhkan dalam diri setiap orang. Akuntabilitas moral dan etik itu memiliki banyak sumber, sejak dari ajaran agama, kearifan adat-tradisi lokal sampai kepada ‘kepantasan publik’ (public decorum).

Akuntabilitas politik dan pemerintahan dapat diwujudkan melalui berbagai cara. Dalam negara demokrasi seperti Indonesia, kelemahan akuntabilitas yang menumbuhsuburkan korupsi dapat dikurangi dengan meningkatkan persaingan (competitiveness) di antara kekuatan dan parpol yang ada. Semakin kompetitif proses politik semakin besar pula kemungkinan terungkapnya berbagai kasus pelanggaran akuntabilitas dan korupsi. Sebaliknya, semakin kuat koalisi (yang dapat menjadi kolusi) di antara berbagai kekuatan politik dan parpol, kian kuat pula kecenderungan mereka menutupi dan melindungi pejabat publik pelaku korupsi.

Di sinilah akar terjadinya apa yang sering disebut media dan kalangan masyarakat sebagai saling sandera di antara berbagai pejabat publik sejak dari lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan seterusnya. Dalam konteks itu, Indonesia tertolong dengan adanya media yang bebas dan berani mengungkapkan berbagai dugaan kasus korupsi yang melibatkan pejabat publik dan politisi. Kebebasan media tanahair membuat masyarakat—khususnya kelas menengah—kian well-informed dengan pelanggaran akuntabilitas dan korupsi di berbagai bidang kehidupan.

Karena itu, kebebasan media niscaya harus diperlihara, khususnya melalui dukungan masyarakat sipil. Sepatutnya media tidak menjadi oligopoli kekuatan bisnis yang terlihat kian terlibat dalam agenda dan kepentingan politik tertentu. Efektivitas penegakan akuntabilitas dan pencegahan korupsi tidak hanya tergantung pada media yang rajin dan nyaring mengungkap kasus-kasus korupsi dan kelas menengah yang peduli, tetapi juga pada lembaga pemantau dan komisi anti-korupsi (KPK). Karena itu, media dan masyarakat sipil yang peduli mesti memberdayakan dan menjaga lembaga-lembaga seperti ini dari intervensi politik. Memang jalan terlihat masih panjang dan berliku.

sumber : Resonansi
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement