Rabu 13 Feb 2013 22:40 WIB

Revisi Batasan Usia Nikah Perlu Kajian Komprehensif

Rep: Agus Raharjo/ Red: Dewi Mardiani
Lembaga perkawinan (ilustrasi).
Foto: Wordpress.com
Lembaga perkawinan (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Batasan usia nikah bagi perempuan dalam Undang-Undang Perkawinan dinilai sudah tidak relevan. Usia minimal 16 tahun untuk seorang perempuan dianggap belum memenuhi syarat kematangan perempuan.

Namun, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam, Abdul Djamil mengatakan, batasan usia minimal dalam UU Perkawinan didasarkan dari kajian yang komprehensif. Artinya, umur 16 tahun masih dianggap usia yang masih relevan sebagai batas minimal usia pernikahan bagi perempuan.

Usia minimal tersebut dapat direvisi jika sudah ada telaah dan kajian usia matang seorang perempuan secara lengkap. Menurut Djamil, dasar revisi bukan hanya dari data temuan satu pihak. Harus dilengkapi oleh kajian dari berbagai pemangku kepentingan.

"Semua ada referensinya, harus ada kajian lebih lanjut untuk merevisi batas minimal usia perkawinan bagi perempuan," ungkap Abdul Djamil, Rabu (13/2).

Djamil menambahkan, banyak aspek yang dapat dijadikan sebagai variabel yang memengaruhi kematian ibu saat melahirkan. Artinya, usia bukan satu-satunya aspek penyebab meninggalnya ibu saat melahirkan anak. Banyak variabel lain yang mestinya juga digali.

Kalau ada yang ingin menginisiasi revisi UU Perkawinan soal batasan usia, kata Djamil, harus ada diskusi dan penelitian dari seluruh aspek.

Misalnya, kata dia, penelitian yang melibatkan dunia kesehatan, Majelis Ulama Indonesia, psikologi, sosial budaya dan aspek lainnya. Selama belum ada, batasan minimal usia tidak akan diganti. "Karena formula UU Perkawinan itu juga didasarkan dari banyak aspek," tegas Djamil.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement