REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keinginan Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo membuat Giant Sea Wall dinilai bunuh diri.
Pengamat Perkotaan Niwonono Joga, menyayangkan pilihan pemerintah selalu teknis dalam menangani banjir. Ia berharap ekosistem di pesisir utara di tata ulang.
Permasalah seperti abrasi, intrusi air laut, hancurnya mangrove, maupun level tanah yang semakin menurun harus dibenahi terlebih dahulu.
Pembangunan GSW untuk cadangan air baku dinilainya pasti gagal. Kemudian, menurutnya, GSW tidak bisa membendung abrasi pantai maupun gelombang pasang surut, sebab pelindung utamanya adalah hutan mangrove yang sudah rusak.
GSW juga tidak akan berhasil melindungi daratan, namun justru membahayakan. Sebab perbedaan level air laut dan tanah akan makin meningkat.
"Tidak ada jaminan. Kota bunuh diri itu namanya," kata dia di Jakarta, Selasa (12/2).
Menurut Niwonono, jika pembangunan tetap dipaksakan berarti terdapat kepentingan komersil. Menurutnya, memutus mata banjir dengan memperbaiki situ atau waduk, normalisasi sungai, revitalisasi saluran, membenahi tata ruang, dan rekayasa sosial, lebih murah dibanding membangun GSW yang mencapai Rp 150 triliun.
Karenanya, dia menilai pemerintah tidak perlu membuang uang yang banyak jika niatnya untuk memutus banjir.
Jokowi sebellumnya mengatakan GSW secepatnya akan segera diputuskan. Namun masih dalam perhitungan baik teknis, ekonomi, maupun masalah lingkungan.
Menurut Jokowi, GSW dibangun untuk mengatasi banjir dari laut karena rob. Ia menilai banjir tersebut semakin tahun semakin naik sebab alasannya es yang mencair akan menaikan air pasang. "Mau tidak mau itu harus di buat," kata dia.
Menurutnya, GSW harus dibangun secepatnya jika tidak ingin wilayah Jakarta berada di bawah air. Sedangkan, pembiayaan GSW bisa melalui investasi maupun APBD.
Dikatakan Jokowi, target pembangunan setelah perhitungan selesai. Ia berharap tahun ini bisa selesai perhitungan dan kajiannya.