Rabu 23 Jan 2013 17:32 WIB

'Pertamina Dinilai Jadi Lahan Jarahan Politik'

Rep: Mutia Ramadhani/ Red: A.Syalaby Ichsan
pertamina
pertamina

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah kalangan menganggap BUMN minyak dan gas bumi (migas), Pertamina, telah menjadi lahan jarahan politik di negara ini.

Pengamat dari Institute Global Justice (IGJ) Salamudin Daeng menilai perusahaan plat merah itu terkekang dan kehilangan hak otonomnya melalui Undang Undang Migas.

Salamudin memaparkan, Pertamina rata-rata membeli bahan baku seluruh minyak mentah mencapai 42 juta kiloliter (kl). Jika ditambah dengan biaya pajak yang diberikan Pertamina ke negara, serta biaya personalnya, maka total biaya yang diperlukan untuk menghasilkan BBM 42 juta kl itu mencapai Rp 318 triliun.

Apabila 42 juta kl BBM itu dijual dengan harga rata-rata Rp 4.500 per liter, kata Salamudin, maka Pertamina memperoleh Rp 326 triliun. Artinya, Pertamina untung delapan triliun rupiah.

Akan tetapi, Pertamina malah memperoleh biaya subsidi dari pemerintah pusat Rp 136 triliun. "Keberadaan Pertamina tak rasional. Ia mengelola subsidi besar namun sangat lemah dan tak bersaing dengan Chevron, ExxonMobil, dan Petronas," kata Salamudin dalam dialog publik di Jakarta, Rabu (23/1).

Peneliti dari Petromine Watch Institute Imam mengatakan, korupsi dan perampokan uang negara dalam tubuh Pertamina  terjadi dalam praktik impor minyak. 

Misalnya, harga impor minyak Pertamina berkisar 113,95 dolar AS per barel. Namun rata-rata harga minyak dunia hanyalah 95 dolar AS per barel, dan maksimal 105 dolar AS per barel. 

Sehingga, tuturnya, ada selisih delapan dolar AS per barel selisih pendapatan dari impor minyak yang dilakukan Pertamina per barelnya. "Jika dikalikan dengan jutaan barel minyak yang diimpor Pertamina maka total selisih marjinnya Rp 25 triliun. Itu adalah total mark up impor minyak," ujar Imam.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement