Ahad 20 Jan 2013 19:32 WIB

Mengatasi Banjir Jakarta Bukan Sekadar Tanggul dan Pompa

Rep: indah wulandari/ Red: Heri Ruslan
Sejumlah personel TNI membawa batu dan pasir pada perbaikan tanggul Banjir Kanal Barat (BKB) yang jebol di Jalan Latuharhary, Jakarta, Jumat (18/1). Jebolnya tanggul itu mengakibatkan sebagian Jalan Thamrin dan Sudirman terendam air.
Foto: ANTARA/Dhoni Setiawan
Sejumlah personel TNI membawa batu dan pasir pada perbaikan tanggul Banjir Kanal Barat (BKB) yang jebol di Jalan Latuharhary, Jakarta, Jumat (18/1). Jebolnya tanggul itu mengakibatkan sebagian Jalan Thamrin dan Sudirman terendam air.

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA –- Paradigma berpikir pengambil kebijakan di DKI Jakarta saat menghadapi banjir harus diharmonisasi dengan konsep jangka panjang daerah resapan air. Bukan sekadar memperbaiki infrastruktur distribusi hujan semata.

“Perbaikan tanggul dan pompa saat banjir datang itu sangat teknis dan berlaku jangka pendek. Yang utama dengan menciptakan daerah resapan air yang luas diantara gedung-gedung bertingkat,” ulas pengamat tata kota Universitas Trisakti Nirwono Yoga, Ahad (20/1).

Langkah Gubernur DKI Joko Widodo dinilainya kurang tepat. Lantaran hanya terfokus pada media penyaluran air melalui sungai, yakni seputar pompa, tanggul, dan drainase. Yang benar, sebut Nirwono, menampung air sebanyak-banyaknya lalu dengan cepat diserap ke tanah.

“Dengan cara itu ada pemikiran ke depan bahwa hujan bukanlah bencana air. Tapi justru panen dan konservasi air. Jika paradigma berpikirnya seperti itu, pejabat akan mengubah kebijakan yang bakal mengubah lingkungan lebih baik,” tutur Nirwono.

Ada dua cara yang bisa ditempuh untuk mengembalikan fungsi lahan di ibukota. Nirwono meminta Pemprov DKI tidak lagi memberikan izin pendirian pusat-pusat perbenlanjaan serta ada audit yang dikenai sanksi tegas bagi pelanggarnya.

Pemprov DKI dimintanya melakukan kajian atas perputaran perekonomian di mal, tingkat kunjungan mal. Kemudian dilanjutkan audit kavling bangunan di jalur utama. “Di lapangan, saya lihat banjir yang terjadi karena kavling tak mampu menyerap air,” ujar Nirwono.

Hal itu terjadi karena banyak pemilik bangunan tak memenuhi persyaratan penyediaan ruang terbuka hijau 30 persen dan sumur resapan air. Ditambah lagi hamper seluruh kavling diaspal, dibeton, ataupun dimanfaatkan untuk lahan parkir. Sehingga air langsung dibuang ke jalan dan masuk ke gorong-gorong.

“Harus ada sanksi tegas agar mereka mau menyediakan resapan air,” tegas Nirwono.

Dia pun mengulik kembali kisah hijau ibukota di era 1965. Kala itu, RTH masih mencapai 37,2 persen. Medio 1985 berada di kisaran 25,85 persen. Lalu menurun drastis di tahun 2000 dengan 9 persen saja. Saat ini malah diklaim meningkat tipis menjadi 9,08 persen.

“Belajarlah dari sejarah untuk mengurangi kesemrawutan saat ini dengan menerapkan fungsi ganda lahan resapan air untuk penyediaan air bersih dan mencegah penurunan muka tanah karen air tanah terus disedot,” tegas Nirwono.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement