Jumat 18 Jan 2013 00:57 WIB

Kisah Banjir di Jakarta (II)

Rep: Teguh Setiawan/ Red: M Irwan Ariefyanto
Banjir Kanal Timur
Foto: Edwin/Republika
Banjir Kanal Timur

REPUBLIKA.CO.ID,Bagi masyarakat Batavia saat itu, banjir adalah bencana tahunan yang akrab. Pemerintah Hindia-Belanda yang notabene memiliki teknologi irigasi paling maju telah berusaha meminimalisasi bencana ini.

Namun, hampir semua upaya yang di lakukan relatif tidak membawa hasil maksimal. Sejak pendirian Batavia 1619, banjir telah menjadi bagian kehidupan Sunda Kelapa dan sekelilingnya. Perencana kota mengatasinya dengan menciptakan sistem kala secara gradual dengan menjiplak mentah-mentah Amsterdam.

Belanda menggali tanah dan meninggikan wilayah rendah yang akan dibangun gedung-gedung baru. Upaya ini hanya memecahkan persoalan secara temporer. Pada 1633, penduduk Batavia, terutama para pemukim kulit putih, mengeluhkan bau busuk dari kanal yang kering.

Pendangkalan yang amat cepat dan tidak adanya pasokan air dari sungai besar menyebabkan kanal-kanal cepat kering pada musim kemarau yang ekstrem. Dua tahun kemudian, pemukim Batavia melontarkan keluhan yang lain, air terkadang lebih tinggi dibanding kota.

F de Haan—seperti dikutip Mark Caljouw, Peter JM Nas, dan Pratiwo dalam Flooding in Jakarta Towards a Blue City with Improved Water Management—secara perinci menggambarkan bagaimana pada 1670 ruas jalan tergenang pada saat kanal pasang. De Haan juga melaporkan secara ekstensif kondisi kanal dan situasi banjir.

Perbedaan antara pasang surut memang cukup kecil. Namun, pada saat air pasang, banjir menggenangi Batavia dan saat ke marau, kanal benar-benar surut. De Haan juga mencatat masalah timbunan pasir di mulut Ciliwung. Ada upaya membuat dinding palisade untuk melindungi garis pantai, tapi tidak terlalu berhasil. Kegagalan ini menyebabkan Pe me rintah VOC saat itu harus menggali kanal baru. Menggunakan sekian banyak kuda, pe merintah mengeruk pasir di mulut Sungai Ciliwung.

De Haan menemukan beberapa penyebab banjir di Batavia dan menawarkan beberapa solusinya. Menurutnya, penyebab utamanya adalah perbedaan antara pasang dan surut kanal. Ia juga menyebut penebangan kayu di hulu Sungai Ciliwung mengakibatkan sedimentasi.

Penebangan di sepanjang sisi sungai, demikian De Haan menyebutkan, menyebabkan tepi sungai gampang runtuh. Tanah reruntuhan menyebabkan jumlah sedimen yang diangkut Sungai Ciliwung ke Batavia terus meningkat.

Faktor yang menyebabkan terjadinya kekeringan adalah pencetakan sawah baru dan pembukaan perkebunan di sepanjang bantaran sungai. Saat kemarau, sebagian besar air sungai didistribusikan ke sawahsawah dan tanah perkebunan. Akibatnya, volume air yang masuk ke Batavia menjadi sedikit.

Pabrik gula juga dituding sebagai penyebab pendangkalan. Pabrik gula yang saat itu masih sangat tradisional membuang limbah padatnya ke sungai. Imbauan kepada pengusaha pabrik gula, yang kebanyakan orang Tionghoa, relatif gagal menghentikan pendangkalan hebat.

Namun, masih menurut De Haan, penyebab utama pendangkalan adalah akibat kurang kuatnya arus sungai. Di beberapa bagian kanal, terutama dekat pantai, lumpur berhenti akibat air sungai relatif tidak mengalir.

Di sungai yang tenang, lumpur memiliki banyak waktu untuk membentuk gumuk pasar dan menjadi pulau-pulau di tengah sungai. Seiring perjalanan waktu, pulaupulau itu mengeras, dan diperkeras oleh tumbuhan.

Mungkin sangat menarik melihat kegagalan pembangunan Kali Mookervaart yang dilakukan Gubernur Jenderal Die derik Durven pada 1732. Kecuali musim hu jan, air Kali Mookervaart nyaris tidak per nah mengalir. Akibatnya, pendangkalan terjadi begitu cepat.

Berbagai solusi telah dilakukan, termasuk pengerukan kanal secara berkala. Pemerintah kota juga mati-matian mencegah pembuangan limbah ke dalam kanal. Pada 1740, sungai dialihkan ke kanal berbeda. Berbagai irigasi dibangun, termasuk memperkeras tepi kali, pembangunan pintu air, dan bendungan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement