REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Migrasi politik tidak akan berdampak positif bagi demokrasi Indonesia. Sebaliknya, migrasi politik malah akan membuat demokrasi sakit. Ini karena migrasi politik lebih sering dipicu hal-hal yang bersifat transaksional dan pragmatis.
"Perpidahan kader partai ke partai lain tidak memberi pembelajaran politik yang baik ke masyarakat," kata pengamat politik Universitas Gadjah Mada, Ary Dwipayana kepada Republika, Senin (18/1).
Ary mengatakan migrasi politik bisa dilakukan secara instusional maupun personal. Instusional yakni apabila suatu menyatakan diri bergabung ke dalam partai lain. Sedangkan personal yakni apabila kader suatu partai menyeberang ke partai lain dengan alasan-alasan tertentu.
Fenomena migrasi politik sebenarnya mencerminkan lemahnya motivasi seseorang saat mendirikan partai politik. Peristiwa ini menjadi pertanda buruknya motivasi seseorang ketika memutuskan bergabung ke dalam suatu partai politik.
Ary menyatakan migrasi politik membuktikan partai politik - mereka yang tergabung di dalamnya - hanya mementingkan posisi dan kekuasaan. "Ini tanda partai politik didirikan dengan tujuan pragmatis dan transaksional," ujar Ary.
Migrasi politik belum tentu memberi keuntungan bagi imigran politik maupun partai politik penampung. Ary menyatakan migrasi politik berpotensi memicu komplikasi baru dalam diri partai politik penampung.
Hal ini terjadi karena kader-kader asli akan merasa diperlakuan tak adil dengan para politisi pendatang. "Mereka yang bermigrasi tentu berharap bisa mendapat posisi sebagai caleg atau pengurus partai. Ini tentu tidak sehat bagi internal partai," terang Ary.