Ahad 13 Jan 2013 22:44 WIB

Cuaca Buruk Bukan Ancaman Jika Nelayan Dapat Akses Informasi

Rep: Ani Nursalikah/ Red: Heri Ruslan
Nelayan Indonesia
Nelayan Indonesia

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Cuaca buruk yang terjadi belakangan ini membuat para nelayan tidak bisa melaut untuk mencari ikan. Menurut Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) dalam kurun 30 hari terakhir, tidak kurang dari 500 ribu nelayan tradisional Indonesia berhenti melaut. Mereka merugi hingga puluhan juta rupiah karena tidak dapat bekerja.

Untuk membantu nelayan mengetahui informasi cuaca di lingkungannya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menggandeng Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyediakan informasi tersebut. Caranya dengan program SMS Gateway.

Kepala Bidang Meteorologi dan Maritim BMKG Agus Wahyu Rahardjo mengatakan nelayan yang sudah memiliki kartu nelayan akan dicatat nomor ponselnya. Kemudian, BMKG akan mengirimkan pesan singkat berisi informasi mengenai cuaca, kecepatan angin dan tinggi gelombang dengan bahasa yang mudah dipahami nelayan tradisional. 

"Program tersebut diluncurkan pada akhir Desember 2012," ujar Agus, Ahad (13/1).

Kartu nelayan disediakan oleh KKPN sedangkan telepon genggam merupakan milik pribadi. Program ini menargetkan 2,6 juta nelayan untuk bergabung. Data terakhir menunjukkan baru sekitar 200 ribu nelayan yang terdaftar dari target 600 ribu. Ditargetkan pada 2016, 2,6 juta nelayan sudah mengikuti program ini. 

Direktur Indonesia Maritime Institute (IMI) Y Paonganan mengatakan pemerintah harus serius membantu nelayan yang tidak bisa melaut. Ia menyatakan kondisi nelayan tradisional yang tidak bisa melaut sangat memprihatinkan karena perhatian masyarakat masih kurang walaupun pemerintah mengklaim sudah membantu.

"Perlu dimaksimalkan. Karena mesin kapal mereka tidak mampu melawan tingginya gelombang laut," ujarnya.

Selain itu di dalam komunitas nelayan terdapat sistem ekonomi yang sulit diintervensi. Ada seorang punggawa dimana pada saat-saat tertentu, misalnya ketika angin kencang dan nelayan tidak bisa melaut, punggawa ini bertindak sebagai malaikat penolong yang memberi kebutuhan sehari-hari. Ia kurang lebih seperti seorang rentenir. 

Pemerintah harus mengintervensi untuk merombak sistem ekonomi di sana. Dan itu, katanya, butuh proses panjang karena ada ikatan norma antara nelayan dan punggawa sehingga harus kontinyu dilakukan, misalnya dengan membentuk koperasi nelayan. Pemerintah juga harus  memberi bantuan sarana dan prasarana yang memadai. Sedangkan bank, belum berani memberi kredit kepada nelayan dengan agunan perahu. Pemerintah diimbau agar bekerja sama dengan bank sebagai penjamin kredit nelayan. Paonganan mengakui lembaganya mempunyai peran hanya sebatas memberikan masukan kepada KKP.

Lebih lanjut ia mengatakan, setiap tahun di Pantai Laut Selatan sebanyak 100 ribu jiwa dari 200 ribu jiwa di sana hilang di laut pertahun akibat ketidakpahaman tentang cuaca. Hal tersebut karena nelayan tradisional masih menggunakan ilmu nenek moyang dalam memprediksi cuaca yang kini sudah tidak akurat lagi. Sebenarnya, cuaca buruk bukan hal yang menakutkan karena merupakan pengulangan tahun-tahun sebelumnya. Hanya saja pengetahuan dan akses informasi para nelayan tradisional masih kurang. Hal ini bisa berarti saat mereka melaut, bisa saja kondisi laut sedang rawan.

Paonganan mengapresiasi program SMS Gateway yang dilakukan KKP dengan BMKG. Namun, menurutnya, tidak semua nelayan memiliki telepon genggam. Sebenarnya, cuaca buruk bukanlah hal yang menakutkan karena merupakan pengulangan siklus sebelumnya. Karena itulah perlu kesiapan dan pemahaman dalam mengantisipasinya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement