Jumat 11 Jan 2013 07:09 WIB

Tunas Berprestasi, Tumbuh Berinovasi (Juara III Lomba Tulis OSN Pertamina)

Kearifan lokal bisa menjadi daya dorong berinovasi
Foto: happytouring.com
Kearifan lokal bisa menjadi daya dorong berinovasi

REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Aulia Nugraha Siagian

Kelas XII IPA 2

SMA Harapan Mandiri, Medan

Sebagai wujud sumbangsih untuk memajukan pendidikan di Indonesia, untuk kelima kalinya, Pertamina menyelenggarakan Olimpiade Sains Nasional. Setelah melalui seleksi yang berliku, terpilih para juara yang berhak menyandang gelar Juara Olimpiade Sains Nasional Pertamina (OSN-Pertamina) 2012. Mereka adalah Budi Santoso Sitoputra (Universitas Gajah Mada, Juara I Olimpiade Sains Bidang Biologi), Abe Gracia Vallerian TS (Universitas Pelita Harapan, Juara I Olimpiade Sains Bidang Matematika), Bayu Ardiansyah (Universitas Indonesia, Juara I Olimpiade Sains Bidang Kimia), Davit Sipayung (Universitas Indonesia, Juara I Olimpiade Sains Bidang Fisika), Grandprix Thomryes Marth Kadja, Tiatira Windansari, Risqia Minierini, Irkham (Universitas Indonesia, Juara I Olimpiade Science Project), serta masih banyak lagi lainnya.

Kini di pundak mereka ditumpukan tanggung jawab untuk terus berinovasi bagi negeri, sebab kemenangan dalam OSN-Pertamina 2012 sejatinya bukanlah akhir, melainkan awal komitmen pengabdian membangun negeri.

Memang, inovasi dan kearifan lokal kerap dipandang saling bertentangan. Inovasi, sebagai cikal bakal bergulirnya perubahan sosial, dianggap mewakili sisi masyarakat yang modern, dinamis, serta penuh semangat untuk mencapai kemajuan. Sedangkan kearifan lokal sering dituding terlalu tradisional, statis, dan cenderung mengandung keinginan mempertahankan keadaan tetap sebagaimana adanya. Asumsi tersebut diperkuat pula oleh pendapat kebanyakan tokoh teori modernisasi bahwa budaya tradisional, termasuk kearifan lokal, merupakan tanda keterbelakangan dan penghambat dalam pencapaian kemajuan sosial ekonomis. Suatu pendapat yang semakin mengokohkan polarisasi antara inovasi dengan kearifan lokal.

    

Namun, pendapat berbeda dikemukakan oleh Michael R. Dove, seorang antropolog pembangunan. Bagi Dove, tradisional tidak harus berarti terbelakang. Dalam kajiannya mengenai interaksi antara kebijaksanaan pembangunan nasional Indonesia dengan beragam budaya maupun kearifan lokal, Dove melihat bahwa budaya tradisional sangat dan selalu terkait dengan proses perubahan ekonomi, sosial, dan politik dari masyarakat pada tempat dimana budaya tradisional tersebut melekat. Jika demikian halnya, menurut Dove, budaya tradisional akan senantiasa mengalami perubahan yang dinamis, sehingga sama sekali tidak menghambat inovasi menuju kemajuan.

    

Sebagai contoh, lihat saja bagaimana dua bangsa Asia Timur, yaitu Jepang dan Cina, telah lama menggabungkan kearifan lokal serta kekayaan tradisi spiritualitasnya dengan kemajuan ilmu pengetahuan modern. Jepang, misalnya, selalu memadukan prinsip-prinsip manajemen modern dengan tradisi Kaizen yang diwarisi dari era Samurai dahulu. Bukan hanya itu, dalam proses modernisasi Jepang, nilai-nilai tradisional seperti ’loyalitas tanpa batas pada Kaisar’ sungguh mudah diubah menjadi ’loyalitas pada perusahaan’, sehingga sangat membantu meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan mengurangi pembajakan atau pun perpindahan tenaga kerja antar perusahaan. Sedangkan di Cina, nyaris semua gedung bertingkat yang ada di kota-kota besar negeri Tirai Bambu itu dirancang berdasarkan prinsip Feng Shui, meski tanpa mengabaikan kaidah-kaidah arsitektur modern.

    

Mencermati kegemilangan yang diraih bangsa-bangsa lain ketika berhasil mencari titik temu antara kearifan lokal dan inovasi, rasanya terlalu naif bila masih saja mempertentangkan keduanya. Terlebih bila mengingat bahwa bangsa Indonesia lahir atas dasar kesepakatan berbagai nilai, baik yang bersifat sentripetal (pusat) maupun sentrifugal (daerah). Dengan demikian, abai terhadap nilai dan kearifan lokal berarti melawan kodrat sebagai negara bangsa.

Dalam masyarakat Indonesia yang multikultural, sesungguhnya tidaklah sulit menemuken berbagai kearifan lokal yang hidup dan menghidupi masyarakat. Kearifan lokal dapat ditemui dalam nyanyian, pepatah, petuah, ataupun semboyan kuno yang melekat pada keseharian. Kearifan lokal biasanya tercermin pula dalam kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat yang telah berlangsung lama ataupun nilai-nilai yang berlaku di kelompok masyarakat. Nilai-nilai tersebut umumnya dijadikan pegangan, bahkan bagian hidup yang tak terpisahkan, hingga dapat diamati melalui sikap dan perilaku sehari-hari. Kearifan lokal tadi, jika didayagunakan dengan tepat, diyakini akan mampu mendorong kegairahan anak negeri untuk terus berinovasi.

Berawal dari Sumatera Utara, ada kearifan lokal yang menyatakan ’adat hidup berkaum bangsa, sakit senang sama dirasa, adat hidup berkaum bangsa, tolong menolong rasa merasa’.  Kearifan lokal ini sesungguhnya sangat bermakna dalam merekatkan solidaritas antar anggota masyarakat. Bila benar-benar dipedomani, maka kegairahan berinovasi dan mengembangkan diri dipastikan meningkat karena dirasa bermanfaat bagi kepentingan bersama.  Lazimnya inovasi, tentunya takkan mungkin terjadi bila tak didukung oleh penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memadai. Ini sudah diingatkan sejak dahulu oleh kearifan lokal Yogyakarta. Mencari pengetahuan itu adalah keharusan bagi setiap orang. Pencarian pengetahuan harus dijalani dengan usaha keras agar dapat dicapai hasil terbaik (ngèlmu iku kelakoné kanthi laku).

Dalam batas kewajaran, tanpa memaksakan diri atau menyalahi aturan, segenap anggota masyarakat selanjutnya diharapkan tetap berusaha meningkatkan taraf, harkat, dan martabat kehidupannya, di antaranya dengan mengusahakan dan selalu berupaya meningkatkan kekuasaan, kekayaan, dan kepandaian atau ilmu (wirya, arta, tri winasis) yang dimilikinya. Masalah atau hambatan, sedahsyat apa pun itu, hendaknya tidak dijadikan alasan untuk berhenti berinovasi.

Walau dibatasi oleh kefanaan, tetapi kearifan lokal yang juga cukup menonjol di Yogyakarta ialah bahwa ikhtiar dan kerja keras sepatutnya tanpa kenal lelah (sepi ing pamrih ramé ing gawé). Bila dimaknai secara mendalam, ini berarti bahwa setiap orang harus ulet dalam bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri dan keluarga. Keuletan serta produktivitas kerja dipandang sebagai hal berharga. Dengan demikian, tak mengherankan bila yang timbul kemudian adalah semangat untuk senantiasa berinovasi dan meningkatkan kinerja. Perlu diingat pula bahwa bekerja tidak boleh sembarangan, tergesa-gesa, atau asal jadi, melainkan harus teliti, cermat, dan penuh perhitungan, agar beroleh hasil maksimal (alon-alon waton kelakon, kebat kliwat, gancang pincang).

Adapun di Lampung, dikenal prinsip ’nemui nyapur’ atau membuka diri dalam pergaulan. Bagaimana prinsip ini dapat dimanfaatkan untuk mendukung inovasi ? Inovasi tak pernah datang begitu saja. Inovasi lazimnya diawali keingintahuan atau ketidakpuasan, upaya mencari jawaban atau pemecahan, pengumpulan sumber daya untuk memulai inovasi sebagai jawaban atau pemecahan, dan lantas diakhiri dengan menyebarluaskan inovasi sehingga diketahui serta nantinya dapat dimanfaatkan oleh sebanyak mungkin anggota masyarakat. Dalam pengumpulan sumber daya serta upaya menyebarluaskan inilah pergaulan menjadi sangat penting.

Dengan pergaulan dan jejaring sosial yang luas, takkan sulit bagi seorang inovator untuk menghimpun sumber daya yang dibutuhkannya. Jejaring sosial pada gilirannya juga dapat menumbuhkan rasa percaya, saling memahami, saling mendukung, juga kesamaan nilai,  sehingga turut mendukung ditemukannya inovasi serta terobosan-terobosan baru. Dan ketika inovasi telah mewujud, jejaring sosial kembali bisa dimanfaatkan sebagai media untuk menyebarluaskannya.

Demi mempertahankan harmoni kehidupan sosial dan semakin memperluas pergaulan, hubungan antar anggota masyarakat hendaknya dilandasi oleh prinsip hormat, diawali penghormatan kepada kedua orang tua (ingkang dingin rama ibu), mertua lelaki dan perempuan (kaping kalih maratuwa lanang wadon), saudara tua (kaping katri marang sadulur tuwa), guru (kaping paté mring guru sayekti), hingga pemimpin atau atasan (kapling lima marang gustinira). Diharapkan, masing-masing anggota masyarakat akan terbiasa dengan sikap saling menghormati serta mampu mengembangkan prinsip empati dan toleransi (tepa salira).

Bukan hanya memperluas pergaulan, sikap saling menghormati dan toleransi teramat berharga pula untuk mencegah timbulnya konflik horizontal. Dalam sebuah masyarakat multikultural, multireligius, multi-etnis, seperti Indonesia, sikap-sikap tersebut menjadi sangat strategis untuk dapat mengelola kemajemukan secara kreatif, sehingga riak-riak yang muncul sebagai dampak dari transformasi dan reformasi sosial tidak selalu harus ditanggapi dengan kekerasan, melainkan dapat dikelola secara cerdas dan menjadi bagian dari pencerahan kehidupan bangsa ke depan.

Percikan konflik tak perlu dibesar-besarkan (kriwikan dadi grojogan), karena dapat melibatkan semakin banyak pihak sehingga justru memperkeruh keadaan. Suatu perselisihan lebih baik dihadapi dan diselesaikan sendiri dengan kerendahan hati (nglurug tanpa bala). Dengan demikian, konflik takkan sampai merintangi kegairahan berinovasi.

Beralih ke Gorontalo, terdapat kearifan lokal yang mengandung ajakan ’dulo ito momongu lipu’ (mari kita membangun negeri). Dalam hal ini, segenap pemangku kepentingan (stakeholders) masyarakat, diajak untuk terlibat berinovasi dan memberikan kontribusi positif bagi pembangunan nasional. Maka, semangat berani dan rela berkorban, kesetiakawanan sosial (sabaya pati, sabaya mukti), persatuan dan kekompakan (saiyek saéka praya) baik antar pemimpin, antar rakyat, maupun antara rakyat dan pemimpin (manunggaling kawula gusti), jiwa tanpa pamrih, cinta tanah air (patriotisme), rasa kebangsaan (nasionalisme), serta kegigihan menjaga martabat bangsa dan negara (sedumuk bathuk senyari bumi; dilabuhi pecahing jaja wutahing ludira) dapat diarahkan untuk meningkatkan dukungan serta partisipasi terhadap berbagai program pembangunan yang sedang digulirkan. Kearifan lokal ’dulo ito momongu lipu’ hampir senada dengan prinsip yang menafasi kehidupan masyarakat di Papua, yakni ’sep de pep ne depik tibo senem’ (kita bergandengan tangan untuk membangun) dan ’mbilim kayam’ (membangun bersama).

Pada akhirnya, inovasi semestinya demi pemenuhan kebutuhan masa kini juga selayaknya mempertimbangkan keberlanjutan di masa depan (lumintu) sebagaimana diingatkan oleh kearifan lokal masyarakat Yogyakarta. Jangan sampai, dengan alasan inovasi, malah terjadi keserakahan ataupun eksploitasi secara berlebihan (angkara murka) sehingga mengancam kelestarian lingkungan. Bagaimana pun, kelestarian amat ditentukan oleh kecakapan dan kebijaksanaan manusia (rahayuning bawana kapurba waskithaning manungsa). Lagi-lagi, inovasi dibutuhkan untuk mengintensifkan pemanfaatan lingkungan, tanpa harus memperluas lingkup eksploitasinya.

    

Beragam kearifan lokal tersebut diyakini akan memungkinkan bangsa Indonesia, didukung oleh tunas-tunas muda berprestasi dan mencintai negerinya (baca : para Juara OSN-Pertamina dari tahun ke tahun), memenangkan persaingan di kancah internasional, bukan hanya didukung oleh penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi belaka, melainkan karena karakter luhur yang memampukan tampil berbeda serta membuat perbedaan di tengah kecenderungan global yang mengarah pada keseragaman. Perbedaan di sini bukan dalam arti negatif atau diskriminatif, melainkan memberi corak menyegarkan dan unik, sehingga bangsa Indonesia akan selangkah lebih dekat lagi ke arah kemajuan serta kegemilangan seutuhnya dengan tetap menghayati identitas budayanya. Semoga saja.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement