Jumat 04 Jan 2013 07:30 WIB

Dua Dekade Republika untuk Perubahan

Republika
Foto: rep
Republika

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Nasihin Masha

Pemimpin Redaksi Republika

Jilbab sudah menjadi gejala umum. Modelnya pun beragam. Ada yang model kurungan yang terjuntai hingga menutup pinggul, ada yang hingga menutup dada, ada yang sedikit di bawah bahu, ada yang sebahu, dan ada pula yang justru memasukkan jilbabnya dari balik kerah baju. Jilbab yang terakhir ini intinya hanya menutup aurat tanpa berpretensi untuk menutup lekuk tubuh.

Model penutup bagian tubuh lainnya pun makin beragam. Busana kaum Muslimah ini demikian variatif. Ada yang model baju kurung terusan, ada yang berlengan pendek dan dipadu dengan manset, bahkan ada yang memadukannya dengan leging.

Kita tentu tak menyangka perkembangan busana Muslimah sudah menjadi gejala nasional dan diterima publik dalam waktu cepat. Padahal pada 1983, pemakaian jilbab masih dilarang di sekolah-sekolah dan di kantor-kantor. Bukan hanya ada larangan, tapi juga teror dari intelijen. Kita masih ingat gosip jilbab beracun. Dirumorkan ada orang-orang berjilbab yang dari balik bajunya yang tertutup rapat membawa cairan beracun dan memasukkannya ke sumur-sumur penduduk. Ada kecemasan dan histeria di masyarakat. Semua teror itu untuk meredam kebangkitan Islam. Busana Muslimah menjadi simbol kebangkitan Islam di Indonesia.

Budaya dan aspirasi santri pernah mengalami represi dan diskriminasi sejak awal Orde Baru hingga awal dekade 1990-an. Namun kini, budaya santri sudah tak lagi memiliki hambatan dan menjadi satu kesatuan kembali seperti sebelumnya. Bahkan, juga menyatu dengan budaya pop. Konser-konser musik, termasuk musik rock dan metal, juga dimeriahkan dengan kehadiran remaja-remaja berjilbab.

Kita tak bisa membayangkan hal ini di masa lalu. Saat itu budaya santri dan budaya nonsantri relatif berjarak. Kini justru ada interaksi dan harmoni. Bahkan, dalam beberapa hal masih menimbulkan ambiguitas di kalangan generasi tua saat anak-anak santri itu juga menjadi fans penyanyi-penyanyi gemar berpakaian minim seperti Rihanna, Katy Perry, maupun Lady Gaga. Tentu ambiguitas itu terjadi juga saat anak-anak santri tetap menggemari penampilan Ariel yang baru lewat Noahnya.

Dalam dunia politik, wajah politik ideologi juga makin cair. Tak ada lagi pemisahan yang kaku seperti di masa Orde Lama maupun Orde Baru. Partai-partai nonsantri kini memiliki sayap Islam. Walaupun partai-partai tertentu seperti PDIP tetap alergi dengan aspirasi politik santri. Hal itu terlihat dalam isu-isu label halal, pendidikan, minuman keras, dan sebagainya. Namun secara umum, wajah politik Indonesia tak lagi bersekat keras.

Wajah Indonesia sudah banyak berubah dalam 20 tahun terakhir ini, ketika Republika pertama kali terbit pada 4 Januari 1993. Kelahiran Republika saat itu didorong untuk memperjuangkan aspirasi santri di pentas nasional. Umat Islam ditindas dan didiskriminasi sejak awal Orde Baru – bahkan sejak Demokrasi Terpimpin – hingga awal dekade 1990-an. Umat Islam mengalami kesulitan dalam mengembangkan bisnis, karier di birokrasi dan militer/kepolisian, dan juga dalam politik. Ada penyingkiran terhadap politisi, birokrat, dan pengusaha berlatar santri. Mayoritas yang menjadi minoritas. Akibatnya, umat Islam mengalami banyak ketertinggalan dalam banyak hal.

Republika lahir dengan semangat perubahan. Perubahan bagi terwujudnya Indonesia yang baru. Walau lahir dari ketertindasan, namun perjuangan untuk perubahan itu bukan merujuk pada sentimen eksklusif dan sektarian. Islam menolak nilai-nilai sempit seperti itu. Selain itu, secara historis, nasib umat Islam di masa lalu adalah bukti ketidakvalidan ide-ide culas semacam itu.

Karena itu, misi suci Republika adalah demokratisasi, penghormatan terhadap kemanusiaan, dan keadilan sosial bagi kemajuan dan kejayaan bangsa dan negara Indonesia.

Ditambah momentum jatuhnya rezim Orde Baru, buah demokrasi itu sudah mulai terlihat. Budaya dan aspirasi umat Islam mulai terwadahi dan mekar. Kebebasan, mobilitas, dan kesemarakan ekonomi berkembang dengan baik. Saat ini Indonesia menjadi kekuatan ekonomi nomor 16 di dunia dan memiliki pendapatan per kapita 4.000 dolar AS.

Indonesia juga menjadi negara demokrasi terbesar keempat di dunia. Namun, ide demokrasi, kemanusian, dan keadilan bukan sesuatu yang mewujud begitu saja. Semua itu bisa susut lagi. Karena itu, harus terus diperjuangkan. Apalagi kita masih menghadapi banyak tantangan. Masih ada 11,96 persen penduduk miskin. Selain itu, angka ketimpangan makin meningkat, kini memiliki indeks gini rasio 0,41 persen. Korupsi, kolusi, dan nepotisme masih tetap marak.

Penegakan hukum dan kesetaraan di depan hukum masih lemah. Politik dinasti berbiak. Distribusi ekonomi masih timpang dan tetap terpusat pada kelompok yang itu-itu saja. Karena itu, kemiskinan, ketimpangan kaya-miskin, dan penguasaan aset masih merupakan PR besar bagi kita semua.

Pada saat bersamaan, media cetak justru terus mengalami tekanan. Data lembaga riset Nielsen memperlihatkan, penetrasi koran terhadap masyarakat bertahan pada kisaran 13 persen dalam tiga tahun ini. Pada 2008 penetrasi koran masih bertengger di angka 21 persen. Peran koran makin menyusut. Sedangkan penetrasi televisi pada 2012 mencapai 94,7 persen, internet 25 persen, dan radio 26 persen. Pada 2008, penetrasi televisi 'masih' 93,7 persen. Jadi, hanya 13 persen masyarakat yang membaca koran. Sebaliknya, 94,7 persen masyarakat menonton televisi.

Hal ini merupakan tantangan bagi Republika dan koran pada umumnya. Turunnya penetrasi bukan berarti surutnya peran dan tanggung jawab pers terhadap masyarakatnya. Berkelindannya politik dinasti, penguasaan aset yang relatif masih terpusat pada kelompok tertentu, korupsi, ketimpangan sosial yang meningkat, dan hukum yang bisa dibeli bisa berujung pada premanisme di segala lini. Hal itu terbukti.

Akhir-akhir ini kekerasan dan pembunuhan terhadap wartawan terus meningkat, jauh dibanding di masa Orde Baru. Jika di masa lalu musuh pers adalah intelijen, maka saat ini makin luas. Justru makin marak di tingkat lokal dan daerah.

Peran, tugas, dan tanggung jawab pers saat ini justru lebih berat dibandingkan pada masa represi. Itulah tantangan Republika setelah melewati usia 20 tahun. Semua perjuangan perubahan itu untuk kemajuan dan kejayaan bangsa dan negara Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement