Kamis 03 Jan 2013 01:12 WIB

Bangunan Cagar Budaya Jadi Beban? Ini Alasannya

Bangunan kategori cagar budaya Masjid Al Ma'mur, Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Ahad (4/12). (Republika/Aditya Pradana Putra)
Bangunan kategori cagar budaya Masjid Al Ma'mur, Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Ahad (4/12). (Republika/Aditya Pradana Putra)

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Pemerhati bangunan kuno Semarang, Tjahjono Rahardjo, menilai kepemilikan bangunan cagar budaya kerap dianggap beban bagi pemiliknya, terutama bangunan yang merupakan milik pribadi.

"Para pemilik bangunan kuno sering enggan jika aset miliknya ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya, sebab mereka merasa akan kesulitan mengelola. Bahkan, dijual pun sulit," katanya di Semarang, Rabu (2/1).

Menurut dia, inventarisasi bangunan kuno di Semarang sekitar era 1980-an telah menetapkan lebih dari 100 bangunan yang ada di kawasan Kota Lama sebagai cagar budaya, dan kemungkinan jumlahnya akan bertambah. Ia mengungkapkan Pemerintah Kota Semarang dalam waktu dekat akan menginventarisasi ulang dan mengidentifikasi bangunan-bangunan kuno yang ada di wilayah itu, termasuk di kawasan Kota Lama Semarang.

"Pemkot Semarang akan mendata lagi sehingga kemungkinan bangunan yang masuk daftar dilindungi akan bertambah. Biasanya, pemilik akan keberatan jika asetnya dinyatakan sebagai bangunan yang dilindungi," katanya.

Pemilik bangunan kuno, terutama yang bersifat pribadi, kata dia, keberatan karena jika asetnya dinyatakan sebagai bangunan yang dilindungi ,karena tidak akan bisa diapa-apakan dan justru menjadi beban. "Kalau ditetapkan jadi bangunan yang dilindungi, tentu ada batasan-batasan yang ditetapkan, misalnya mau merenovasi susah, memanfaatkan kesulitan karena ada aturan, sementara dijual juga sulit," katanya.

Di sisi lain, kata pengajar Magister Lingkungan dan Perkotaan Unika Soegijapranata Semarang itu, para pemilik bangunan kuno tersebut harus menanggung beban biaya operasional yang tidak sedikit, seperti pajak.

Jika pemerintah mau menetapkan sebuah bangunan sebagai cagar budaya, atau setidaknya dilindungi berdasarkan peraturan daerah, lanjut dia, seharusnya ikut membantu menanggung beban pemilik bangunan. Salah satunya, kata dia, pemilik bangunan dibebaskan dari kewajiban membayar pajak bumi dan bangunan (PBB), atau bisa juga diberikan subsidi atau suntikan dana untuk biaya pemeliharaan dan perawatan bangunan.

"Contoh, bangunan kuno yang dimiliki secara turun-temurun. Anak-anak pemiliknya ingin bangunan itu dijual dan hasilnya dibagi. Mereka keberatan jika bangunan miliknya masuk dalam status dilindungi," katanya.

Tjahjono menilai, belum banyak orang yang mampu melihat potensi bangunan kuno untuk dimanfaatkan secara optimal, misalnya dijadikan sebagai rumah makan. Selain itu, kata dia, kawasan Kota Lama yang kerap terancam rob menjadi kendala tersendiri bagi pemanfaatan bangunan-bangunan kuno di wilayah itu, kecuali pemerintah bisa mengatasi ancaman limpahan air laut itu.

"Memang tidak semua bangunan kuno patut dinyatakan cagar budaya atau dilindungi. Namun, ada kriteria tertentu, di antaranya berumur di atas 50 tahun, memiliki nilai kesejarahan, dan arsitektural unik," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement