Rabu 02 Jan 2013 23:06 WIB

PPATK Susun Perampasan Aset Mencurigakan 'Hamba Allah'

Transaksi Mencurigakan (Ilustrasi)
Foto: eupm.org
Transaksi Mencurigakan (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--- Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tengah menyusun Rancangan Undang-undang Perampasan Aset yang memungkinkan aset seseorang dirampas tanpa orang tersebut dihukum lebih dulu.

"Kami tengah menyiapkan UU Perampasan Aset, jadi aset tersebut bisa dirampas tanpa orang itu  dihukum lebih dulu, saat ini draft sudah dibawa ke Kementerian Hukum dan HAM, lalu akan diteruskan ke Presiden dan baru ke parlemen," kata Ketua PPATK Muhammad Yusuf dalam Refleksi Akhir Tahun 2012 PPATK di Jakarta, Rabu (2/12).

Yusuf menjelaskan bahwa perampasan aset dimungkinkan untuk dilakukan dalam Undang-undang No 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

"Di UU TPPU pada kemungkinan perampasan, misalnya ada kiriman uang dari 'hamba Allah' uang itu tidak bisa diusut karena orangnya tidak ada, dan berdasarkan di pasal 67, perampasan dimungkinan," ungkap Yusuf.

Pasal 67 ayat 1 menyebutkan bahwa, "Dalam hal tidak ada orang dan/atau pihak ketiga yang mengajukan keberatan dalam waktu 20 (dua puluh) hari sejak tanggal penghentian sementara Transaksi, maka PPATK menyerahkan penanganan Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan."

Sedangkan pada ayat ke-2 menyatakan Dalam hal yang diduga sebagai pelaku tindak pidana tidak ditemukan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari, penyidik dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri untuk memutuskan Harta Kekayaan tersebut sebagai aset negara atau dikembalikan kepada yang berhak.

"Transaski yang mencurigakan itu misalnya seseorang yang hidup dan bekerja di Indonesia tapi mendapatkan gaji dalam mata uang dolar atau memiliki pekerjaan dengan gaji sejumlah sekian tapi pendapatannya lebih besar," tambah Yusuf.

Wakil Ketua PPATK Agus Santoso seusai acara tersebut mengatakan bahwa untuk sementara Mahkamah Agung perlu mengeluarkan keputusan terkait perampasan aset itu.

"Dibutuhkan Peraturan MA untuk perampasan, modus 'hamba Allah ini cukup banyak di dalam rekening tapi memang jumlahnya kecil-kecil," kata Agus.

PPATK menurut Agus belum menghitung secara keseluruhan transaksi yang mengatasnamakan "hamba Allah". "Belum sampai melihat sampai jumlahnya, tapi sudah ada beberapa bank yang menunda transaksinya karena hal itu," tambah Agus.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement