REPUBLIKA.CO.ID, Meski masih banyak kekurangan di sana sini, tinggal di perumnas tipe 21 selama bertahun-tahun bersama keluarga, bagi Herwan sudah cukup betah. Bekerja sebagai pembantu pegawai pencatat nikah (P3N) di Kantor Urusan Agama (KUA), Kelurahan Beringin Raya, Kecamatan Kemiling, Bandar Lampung, sudah menjadi profesi utamanya untuk menghidupi seorang istri dan tiga anaknya yang masih sekolah.
Sorotan adanya pungutan liar (pungli) atas biaya nikah warga Indonesia mencuat belakangan ini, menurut Herwan, sangatlah berlebihan. Sebagai P3N, kata Herwan, apa yang mau dipungli. "P3N bukan pegawai negeri, kami pegawai lepas yang tidak digaji pemerintah. Masyarakat yang memberi (uang) itu pun seikhlasnya," kata Herwan di Bandar Lampung, Selasa (1/1).
Ia menuturkan pendapatan dari menikahkan calon pengantin ini tidak bisa diukur semisal dengan gaji atau upah bekerja pada satu kantor atau perusahaan. "Terkadang pada bulan Ramadhan atau bulan Muharram, tidak ada yang menikah. Artinya, sama sekali tidak ada penghasilan," tuturnya.
Herwan bersama istri dan tiga anaknya hidup dan menetap di rumah perumnas tipe 21 di Jalan Dahlia, Beringin Raya, Kemiling. Saking terbatas rumahnya, sepeda motornya berada di ruang tamu, serta jemuran pakaian harus menumpang di jalan depan rumahnya.
Pendapatan Herwan dari menikahkan orang, tidak dapat ditentukan. Semua bergantung dari kerelaan dan keikhlasan keluarga yang menikahkan. Ia tidak bisa menyebutkan jumlahnya, karena dirinya tidak mematok tarif dalam pernikahan tersebut. "Masyarakat memberi penghulu relatif jumlahnya, itu pun tidak ada paksaan, ikhlas saja," ujarnya.
Bapak berusia 47 tahun ini harus menghidupi anggota kelurganya dengan mencari biaya tambahan tidak tetap. Bersama istrinya, di waktu-waktu luang tidak ada jadwal pernikahan, ia berdagang yang halal untuk menopang biaya dapurnya. "Selain itu, saya masih mengajar mengaji," katanya.
Pendapatan masing-masing penghulu di berbagai tempat dan daerah sangat berbeda. Bagi penghulu yang berada di kawasan elite tentu rata-rata pendapatannya lebih besar, dan itu pun tidak setiap saat. Tapi, kata dia, kalau sebagai penghulu di daerah terpencil jauh dari kehidupan kota, jelas sangatlah miris. Sementara tugas penghulu, kata Herwan, sangatlah berat tanggung jawabnya, karena bekerja atas nama agama dan negara.
Bekerja sebagai penghulu sejak akhir tahun 2004, sama sekali tidak ada penghasilan dari KUA tempatnya bernaung. Biaya nikah yang tertera di kantor KUA sebesar Rp 30 ribu berdasarkan PP Nomor 51 Tahun 2000 itu, masuk kas negara. "Yang dapat gaji itu pegawai pencatat nikah, karena dia pegawai negeri," kata dia.
Ia berharap pemerintah pusat atau Menteri Agama memerhatikan tugas dan tanggung jawab P3N di lapangan, dengan memberikan insentif yang sesuai dengan kerjanya di lapangan. Banyak yang tidak tahu, tuturnya, kalau penghulu tersebut harus mencari wali nikah calon pengantin perempuan hingga ke luar daerah bahkan luar provinsi, yang tidak jelas alamatnya.