REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR - Penetapan biaya pernikahan yang mahal bisa membuat masyarakat malas mengurus pernikahan, sehingga banyak yang memilih melakukan tindak perzinahan dengan kumpul kebo.
Karena itu, kata Kepala bagian Tata Usaha Kementerian Agama Provinsi Bali, Drs H Wayan Syamsul Bahri MPdI, mengatakan, pemerintah mesti membuat kebijakan yang mempermudah administrasi pernikahan. "Masyarakat kita masih banyak yang miskin, yang kesanggupan membiayai kegiatan pernikahannya juga terbatas. Jadi mereka jangan dikenakan tarif yang mahal untuk melangsungkan pernikahan," kata Syamsul di Denpasar, kemarin.
Hal itu dikemukakan Syamsul menanggapi rencana menaikkan biaya pecatatan dan pengurusan administrasi perniakahan di kantor urusan agama (KUA), dari Rp 30.000 menjadi Rp 500.000. Menurut mantan Kepala KUA Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung itu, biaya administrasi pernikahan sebesar Rp 500.000 terbilang sangat mahal.
Dikatakannya, petugas KUA sekarang ini memang sangat dilematis. Di satu sisi mereka hanya dibayar Rp 30.000 untuk mencatat dan mengurus administrasi pernikahan, tanpa ada biaya transportasi dari kantor. Sementara, sebutnya, pelaksanaan pernikahan yang dilangsungkan oleh masyarakat kebanyakan letaknya jauh, sehingga uang sebesar Rp 30.000 untuk kondisi sekarang tidak mencukupi.
Meski demikian, lanjut Syamsul, petugas KUA juga tidak boleh meminta biaya tambahan dari masyarakat untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Hanya saja di lapangan sebut Syamsul, ada masyarakat yang memberikan semacam uang saku kepada petugas KUA, karena keluarga yang punya hajat, meminta petugas KUA untuk memberikan tausiah atau nasihat perkawinan.
Tugas itu, sebut Syamsul, di luar tugas utama para petugas KUA dan pemberian itu adalah penghargaan dari masyarakat. "Yang tidak boleh kalau mereka memasang tarif, karena itu akan memberatkan masyarakat," katanya.
Menurut Syamsul, biaya mencatatkan dan administrasi pernikahan sebesar Rp 30.000 untuk nilai uang sekarang ini terbilang sangat murah, karenanya perlu ada penyesuaian. Dia mengusulkan adanya penggolongan biaya pernikahan sesuai dengan kemampuan masyarakat dan masyarakat yang menentukan, dia mau memilih golongan yang mana. "Misalnya golongan A Rp 5.000, golongan B Rp 100.000, dan tertinggi golongan C Rp 200.000."
Tapi kata Syamsul, tetap harus ada golongan bebas biaya, yakni untuk masyarakat miskin dan biaya pernikahan mereka ditanggung oleh pemerintah. Syaratnya, sebut Syamsul, bahwa golongan ini harus menunjukkkan surat keterangan miskin dari lurah atau kepala desa. "Saya kira ini akan mengurai masalah yang dihadapi para petugas KUA," katanya.