REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Agama mengimbau kepada masyarakat untuk menikah di Kantor Urusan Agama (KUA) dan juga pada jam kerja bila ingin melangsungkan pernikahan. Hal ini dilakukan untuk menghindari pungutan tidak legal yang terus menerus terjadi sejak bertahun-tahun lamanya.
Sekretaris Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama RI, Muhammadiyah Amin menjelaskan kejadian ini bermula sejak 80 persen masyarakat di Indonesia mengundang penghulu ke rumahnya untuk menikahkan, memberi khutbah dan membacakan doa. Rata-rata penghulu merupakan tokoh agama/masyarakat, dan sebagian besar dari mereka juga menjadi pengurus KUA.
''Sehingga mereka memiliki fungsi ganda,'' ujarnya pada /Republika/, Jumat (28/12).
Tugas pengurus KUA sesungguhnya hanya ada tiga, yaitu mencatat, mengawasi dan administrasi pernikahan. Setelah melakukan tugas mereka, menurut PP Nomor 47 Tahun 2004, masyarakat diharuskan membayar Rp 30 ribu sebagai biaya pencatatan nikah, yang selanjutnya akan masuk ke kas negara. Namun, karena mereka memiliki fungsi ganda, masyarakat lalu memberi penghargaan lebih dari aturan.
Realitanya, tidak ada petugas KUA yang datang hanya mencatat pernikahan. Petugas KUA yang melebihkan fungsinya dihargai lebih oleh masyarakat. Masyarakat yang membayar lebih dari aturan, dinilai KPK sebagai gratifikasi atau suap, meskipun itu bersifat sukarela. Masyarakat lah yang meminta, meskipun mereka telah diberitahu untuk menikah di kantor KUA sesuai jam kerja dan membayar sesuai ketentuan.
Namun tetap saja, menurut Amin, ini tidak bisa dibiarkan terus terjadi. Mayarakat harus diberitahukan dan persoalan ini harus diperbaiki. Walaupun begitu, tak ada yang bisa melarang pengurus KUA untuk menikahkan, dan untuk memulai langkah perbaikan, dibutuhkan dana yang tidak sedikit.
''Setidaknya kita butuh trilyunan rupiah,'' ujarnya.
Di Indonesia, ada 5.382 KUA. Diantara jumlah itu, terdapat 177 yang tidak memiliki tanah, 521 yang tidak memiliki gedung, 367 yang menyewa, 160 yang gedungnya rusak berat dan 335 yang rusak ringan. Untuk memperbaiki fasilitas ini pun dibutuhkan biaya yang sangat besar, sedangkan Ditjen Bimas Islam hanya memiliki anggaran 400 miliar tiap tahunnya.
Banyak yang masih menganggap menikah di KUA itu menjadi momok tersendiri di masyarakat. Bahwa menikah di rumah itu lebih baik. Padahal, tidak seperti itu. Persoalan untuk menghapus pemikiran dan kebiasaan masyarakat memberi bayaran lebih ke petugas KUA, bukanlah perkara mudah.
Amin sementara akan membicarakan beberapa solusi program bersama Itjen Kementerian Agama untuk memecahkan masalah ini secepat mungkin. Salah satu asumsi yaitu dengan membayar legal petugas KUA yang berfungsi ganda itu Rp 500 ribu. Namun, jika ini dilaksanakan juga terkendala dengan minimnya dana.
''Jadi sebenarnya intinya ini pada ketersediaan dana,'' ujarnya.