REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Maraknya aksi kejahatan tindak pidana korupsi (Tipikor) yang dilakukan oleh perusahaan swasta belakangan ini dinilai semakin sering merugikan keuangan Negara.
Terakhir, dua kasus tipikor yang menyeret nama perusahaan PT IM2 dan Bank Bukopin. Masing-masing diduga merugikan Negara sebanyak Rp 1,8 triliun dan Rp Rp 76,24 miliar.
Kebanyakan orang-orang yang terlibat dalam aksi tipikor ini memiliki peran penting di dalam perusahaan tempat mereka bernaung. Banyak dari mereka menggunakan perusahaan sebagai mesin korupsi dalam menjalankan aksinya.
Atas fakta inilah, Kejaksaan Agung (Kejakgung) akan mengambil sikap khusus bagi kasus-kasus tipikor yang melibatkan perusahaan swasta. Demikian hal tersebut disampaikan oleh Andi Nirwanto, selaku Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jam Pidsus) di Kejagung pada Rabu (26/12).
Andi mengatakan, mulai tahun depan jajaran Kejakgung akan mencoba merumuskan perangkat hukum yang digunakan khusus untuk tipikor perusahaan swasta. Nantinya, aturan baru tersebut akan langsung menindak perusahaan yang menjadi biang dari keruggan Negara. Hal ini menurutnya sesuai dengan standar baru dalam penetapan hukuman kepada pelaku tipikor.
Dia mengatakan, seluruh Negara anggota Perseringkatan Bangsa-bangsa (PBB) telah mengacu pada penetapan hukuman tipikor pada United Nations Convention against Corruption (UNCaC). Acuan aturan pada UNCaC ini, menurutnya, fokus pada pengembalian harta kekayaan negara yang raib oleh ulah pelaku korupsi.
Sehingga dengan acuan aturan pada UNCaC ini diharapkan hukuman yang diterima oleh para koruptor menjadi jauh lebih berat, karena juga harus membayarkan uang dalam jumlah yang besar. Manfaat lain, dengan diberlakuknya aturan baru ini kelak, tingkat pengembalian uang Negara yang hilang juga bisa mendekati seratus persen karena menggunakan dana dari perusahaan bukan pribadi.
Atas dasar inilah, bila ada kasus tipikor yang merugikan negara dilakukan suatu korporasi, Kejagung akan menerapkan hukuman pada perusahaannya, bukan pada karyawannya. Meskipun secara realita tentu saja yang melakukan aksi tipikor adalah individu-individu pekerja.
“Tapi ini juga perlu digarisbawahi. Kalau terbukti uang itu tidak mengalir ke individu-individu dalam perusahaan maka aturan ini tak diterapkan. Lain halnya bila uang tersebut masuk ke kas perusahaan untuk menambah modal menjalankan usaha, maka korporasi tersebut yang akan kami tindak,” kata dia menjelaskan.
Dia mengatakan, alasan Kejakgung yang akan melakukan langkah ini tahun depan diperkuat alasan lain. Menurut dia, uang hasil korupsi yang dialirkan ke suatu perusahaan akan sangat rawan dimainkan. “Tentunya ada maksud lain, yakni menghindari adanya praktek pencucian uang. Dengan aturan baru nanti, uang di dalam sebuah perusahaan pun bisa kami selidiki,” ujarnya.