REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hakim dan pengadilan terikat erat sebagai penegak keadilan di negara ini. Lembaga yang menaunginya adalah Mahkamah Agung (MA) dan jajaran di bawahnya, hingga ke tingkat kabupaten/kota. Nama hakim dan citra lembaga yudikatif ini didera petaka.
Di tahun 2012 ini saja, ada sejumlah perkara yang melibatkan hakim dan jajaran di daerah. Perkara tersebut melibatkan unsur pelanggaran moral, etika, dan hukum.
Dari sisi putusan hakim, Indonesia Corruption Watch (ICW) memprediksi pada 2012 jumlah terdakwa korupsi yang bakal dibebaskan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) makin banyak. Anggota Badan Pekerja ICW, Emerson Yuntho, mengatakan selama 2011 sebanyak 45 terdakwa kasus korupsi divonis bebas Pengadilan Tipikor. Belum lagi di tingkat kasasi sebanyak 40 kasus korupsi dibebaskan MA.
Menurut Emerson, banyaknya terdakwa korupsi yang divonis bebas menandakan dunia peradilan dan MA masih diragukan komitmennya dalam upaya pemberantasan korupsi.
Fenomena itu dinilainya merupakan indikasi keberadaan mafia peradilan semakin menguat. “Isu soal itu bau-bau ‘amis’ itu masih ada. Dugaan-dugaan adanya mafia peradilan itu masih ada,” tuding Emerson di awal Januari 2012.
Karena itu, ICW pada 2012 akan mengawal dan menelusuri rekam jejak hakim Pengadilan Tipikor baik karier maupun adhoc. Apalagi, imbuh dia, pada tahun ini terjadi pergantian ketua MA dan dan calon-calon yang ada patut diragukan kredibilitasnya. ICW Prediksi tahun ini masih jadi tahun bebasnya para koruptor.
Contoh saja peristiwa yang terjadi pada Februari 2012. Muncul tudingan Hakim Agung ramai-ramai terima suap. Beberapa juga terbukti dengan adanya suap terhadap hakim Syarifuddin dan hakim Imas. Hakim Syarifuddin akhirnya cuma diganjar 4 tahun penjara, dari tuntutan jaksa selama 20 tahun.
Mantan Ketua Mahkamah Agung, Harifin Andi Tumpa menuturkan, profesi hakim memang sangat rawan tercebur dalam kasus suap. Karenanya, Harifin yang kemudian digantikan oleh Hatta Ali pada Maret 2012 itu, mengaku selama menjadi hakim ia selalu menghindari adanya kontak langsung dengan pihak beperkara. Hal itu dilakukan demi menjaga independensi hakim agar dalam memutus kasus tidak terkooptasi dengan pihak yang berkepentingan.
Sebab, menurut Arifin, jika hakim dan berperkara sampai berhubungan, pasti hakim tidak independen lagi dalam menjatuhkan vonis.
“Itu yang paling rawan dan sulit untuk dihindari karena tidak bisa di luar kantor itu mendeteksi setiap orang,” jelasnya di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (19/12).
Baru-baru ini, MA menjadi sorotan gara-gara ulah Yamanie yang mengubah vonis gembong narkoba, Hengky Gunawan dari 15 tahun menjadi 12 tahun. Dalam Majelis Kehormatan Hakim (MKH), dia mengaku mengubah vonis atas perintah ketua majelis hakim, Imron Anwari.
Satu anggota majelis hakim lainnya adalah Nyak Pha. Karena rekomendasi MKH, dipecat tidak terhormat. Pemecatan itu membuat Yamanie meminta dua hakim lainnya ikut diperiksa.
Dalam kasus Syarifuddin, cukup mencengangkan bagi masyarakat yang memperhatikan kasus ini. Soalnya, hukumannya turun drastis dari tuntutan 20 tahun ke vonis 4 tahun penjara pada Selasa (28/2) oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Syarifuddin ialah hakim non-aktif Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang terlibat kasus suap PT Sky Camping Indonesia.
Menurut Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PuSAKO) Universitas Andalas, Feri Amsari, putusan hakim Pengadilan Tipikor menjadi gambaran umum mengenai tidak berpihaknya aparat penegak hukum dalam pemberantasan korupsi di ranah yudisial. Ada dugaan, putusan majelis hakim itu merupakan bentuk solidaritas antar sesama penegak hukum.
"Dugaan itu pasti ada. Hakim memvonis hakim yang bermasalah ada indikasi solidaritasnya," kata Feri menanggapi putusan tersebut. Menurut dia, putusan majelis hakim Pengadilan Tipikor kepada hakim non aktif Syarifuddin sama sekali tidak menimbulkan efek jera kepada para koruptor.
Sehingga, mereka tidak akan takut lagi untuk menggerogoti keuangan negara karena mereka tahu bahwa hukuman yang akan diberikan tidak akan berat. "Padahal korupsi itu kan termasuk kategori kejahatan luar biasa," kata Feri.
Selain dari sisi hakimnya, Feri juga menilai ada kelemahan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut dia, kebanyakan jaksa menuntut seorang terdakwa dengan tuntutan yang tinggi, namun tidak didukung oleh pencarian alat-alat bukti. "Akhirnya tuntutan jaksa menjadi tidak berpengaruh terhadap upaya pemberantasan korupsi," kata Feri.
Beberapa kasus penyuapan juga mengakibatkan vonis enam tahun penjara dan denda Rp200 juta untuk Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Industrial Bandung, Imas Dianasari. Vonis yang dibacakan Ketua Majelis Hakim Singgih Budi Prakoso tersebut lebih ringan jika dibandingkan dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang menuntut Imas dengan hukuman 13 tahun penjara.
Tak hanya itu, pada Agustus 2012, dua orang hakim ad-hoc dari Pengadilan Tipikor Kota Semarang dan seorang pengusaha yang sedang menjadi tersangka korupsi ditangkap KPK karena kasus suap, pada 17 Agustus 2012.
Kedua hakim yang menerima suap itu sudah cukup lama menjadi target KPK karena terlalu sering membebaskan terdakwa korupsi. Salah satu hakim itu bahkan merasa tidak akan tertangkap KPK, karena yakin petugas lembaga itu sedang libur Lebaran.
Ketiga orang itu ditangkap KPK di area parkir Pengadilan Negeri Semarang dengan barang bukti uang suap sebanyak Rp 150 juta.
Menanggapi kasus suap terkait hakim, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie, mengatakan perkara tersebut membuat masyarakat Indonesia kecewa terhadap lembaga kehakiman. "Mereka itu hakim ad-hoc yang diharapkan akan memberikan spirit baru kepada lembaga kehakiman yang selama ini kurang dipercaya dalam menangani kasus korupsi," katanya, Agustus 2012.
Kejadian itu, kata Jimly, harus disikapi dengan lebih menggiatkan upaya pemberantasan korupsi di Tanah Air yang dipelopori lembaga kehakiman.
Menurut dia, lembaga kehakiman harus menjadi pelopor sebagai contoh yang baik dalam pemberantasan korupsi dengan membersihkan para hakim dari praktek suap dan korup. Bila ingin memiliki pengadilan yang bersih, harus dimulai dari hakimnya. "Kalau ingin dipercaya masyarakat, lembaga kehakiman harus memiliki hakim-hakim yang bersih," katanya.