Ahad 23 Dec 2012 06:48 WIB

Kita dan Suku Maya Hadapi 'Kiamat Lingkungan' (1)

Kita dan Suku Maya Hadapi 'Kiamat Lingkungan' (1)

Rep: Mutia Ramadhani/ Red: Heri Ruslan
Lingkaran kalender kuno Suku Maya yang dibuat berdasar periode 394 tahun.
Lingkaran kalender kuno Suku Maya yang dibuat berdasar periode 394 tahun.

REPUBLIKA.CO.ID, GUATEMALA -- Prediksi Suku Maya di Guatamela tentang akhir dunia boleh saja diabaikan. Namun, sejarah runtuhnya kejayaan Suku Maya Kuno di tanah kelahirannya sendiri, Amerika Tengah, patut kita jadikan pelajaran saat ini.

Ramalan kiamat Suku Maya bisa ditafsirkan sebagai transisi dari era peradaban manusia yang dahulunya berhubungan erat dengan alam semesta, kini menjadi kian renggang. Lebih dari satu milenium lalu, Suku Maya Kuno mengalami kiamat di hutan tropis mereka sendiri yang kini berubah menjadi komplek perkotaan Guatemala, Meksiko, dan Bezile.

Peradaban Suku Maya kian layu. Mereka kini menjadi korban yang dipaksa meninggalkan buminya sendiri ke kantong-kantong yang lebih kecil dan kian terisolasi. Beberapa ilmuwan percaya bahwa keruntuhan Suku Maya akibat peningkatan populasi penduduk di Amerika Serikat (AS), kejenuhan tanah, punahnya hutan, dan kekeringan.

Dokter Ahli Arkeologi Bangsa Maya, Julie Kunen, mengatakan peradaban Maya hancur karena keserakahan pimpinannya sendiri. Pemimpin-pemimpin era modern saat ini mampu membangun gedung imperium mewah, namun gagal mengenali dan merespon tantangan sosial lain. Misalnya, kerusakan lingkungan, sumberdaya alam yang kian menyusut, dan perubahan iklim.

Suku Maya saat ini hidup di kawasan lindung 'Cagar Biosfir Maya' di Guatemala yang luasnya hanya 7.700 mil persegi. Luasan tersebut tak lebih besar dari gabungan dua negara bagian AS, Connecticut dan Rhode Island. "Mereka (Suku Maya) melindungi hutan-hutan yang tersisa di Amerika Tengah," kata Kunen, dikutip dari the Guardian, Ahad (23/12).

Kemegahan Maya di masa lalu nyaris menjadi kenangan. Bahkan, alam liar yang tersisa di Amerika Tengah itu kian berada di jurang kehancuran. Sejak 1990, Amerika Tengah kehilangan rata-rata 50 ribu hektare (ha) hutannya per tahun. Luasan itu setara dengan 14 persen berkurangnya luas daratan yang potensial untuk ditanami tanaman pertanian dan perkebunan per tahun.

Kini, arealnya menjadi kering akibat terimbas peristiwa El Nino, musim kemarau panjang, dan perubahan iklim global. Khususnya cauca ekstrem yang terjadi pada 1998, 2000, 2003 dan 2005.

Perbatasan Guatemala - Meksiko juga menghadapi masalah sosial lain, seperti menjadi koneksi perdagangan kokain dunia. Dengan kekuatan uang, orang-orang kaya Amerika membeli dan mengklaim kepemilikannya di wilayah kekuasaan Suku Maya seenaknya. Mereka yang rakus kemudian menjadikan wilayah itu jalur perdagangan kartel ilegal, deforestasi hutan, membangun tempat peternakan sapi ilegal, bahkan melakukan transaksi perdagangan narkoba.

Perburuan satwaliar dilindungi dan penjarahan situs arkeologi di Amerika Tengah melonjak. Masyarakat pribumi Maya tak bisa mengakses layanan dasar di wilayahnya sendiri, seperti pekerjaan, pendidikan, kesehatan, dan air bersih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement