Jumat 21 Dec 2012 07:16 WIB

Perempuan Berhak Bahagia

Buruh Wanita (ilustrasi)
Foto: businessinsider.com
Buruh Wanita (ilustrasi)

Lara Ibunda

Pukul 11.15 WIB, ratusan perempuan berhamburan dari pintu gerbang sebuah pabrik. Ada yang berjalan kaki, naik sepeda motor, dan ada pula naik sepeda angin.

Tak langsung pulang, melainkan menyerbu barang dagangan yang sengaja digelar para penjual di dekat pintu gerbang. Para penjual yang pandai memanfaatkan kesempatan. Mereka tahu para buruh pabrik yang baru keluar adalah buruh yang mendapat shift kerja pukul 06.00, tentu belum sempat belanja.

Para buruh wanita itu pun tak mau membuang waktu dan pulang dengan tangan kosong. Dalam sekejap barang dagangan pun berpindah tangan. Sayuran, krupuk dan lauk-pauk mentah sudah ada di tangan. Dan mereka pun berpindah tempat menyerbu angkutan umum yang setia menunggu untuk mengantar mereka pulang, berebut tempat duduk ternyaman.

Angkutan pun langsung penuh. Tak tanggung-tanggung, jika mengangkut penumpang umum kapasitas angkutan 15 orang tapi ketika para penumpangnya adalah buruh pabrik, 20 orang tak jadi masalah.

Keselamatan dan kenyamanan tak terlalu penting. Yang menjadi pertimbangan hanyalah uang yang didapat. Harus memaklumi, para buruh tersebut sudah menjadi langganan dan langganan maunya bayar setengah harga, namanya juga langganan. Dan para buruh pun harus rela berdesakan, jika tidak, bisa-bisa gaji habis untuk ongkos di jalan.

Sungguh luar biasa kerja keras para buruh perempuan. Membanting tulang memeras keringat demi mempertahankan kepulan asap di dapur. Bekerja keras bukan demi kesenangan semata. bukan demi bedak, lipstik, baju baru, perabot rumah atau bahkan gadget keluaran terbaru, bukan. Tetapi demi menghidupi keluarga yang tak cukup dengan mengandalkan gaji suami.

Menghabiskan waktu di pabrik, meninggalkan istana tercinta. Meninggalkan buah hati dan pekerjaan rumah. Namun begitu, tetap tak bisa lepas dari naluri seorang perempuan sekaligus ibu. Tetap mengabdi kepada keluarga, seolah tenaga para perempuan itu tak pernah habis, pekerjaan rumah pun tak dibiarkan.

Tidak menjadi masalahkah? Yang pasti, tak akan sama jika perempuan tersebut tidak terforsir di luar rumah dengan perempuan yang secara sempurna menjalani peran utama sebagai ibu dan pengatur rumah tangga.

Waktu untuk buah hati secara otomatis terkurangi, dan kasih sayang pun tak seluruhnya bisa diberikan. Tak bisa menemani sarapan pagi, tak bisa mengantarkan anak berangkat sekolah meski hanya sebatas mata memandang hingga keluar halaman. Pagi-pagi buta sudah keluar rumah, meski makanan sudah siap terhidang namun takkan senikmat jika bunda sang koki handal ada di hadapan, menemani dengan senyum hangat.

Malam pun tak bisa banyak dimanfaatkan. Pekerjaan di luar sekaligus pekerjaan rumah tak menyisakan tenaga. Waktu santai bersama keluarga jadi hilang, canda tawa bunda tak terdengar, berganti dengan suara dengkuran tanda kelelahan.

Bukan salah Ibunda

Bisa jadi bukan kehendak hati untuk hidup dengan tenaga yang tereskploitasi. Keadaanlah yang memaksa para perempuan untuk keluar rumah. Himpitan hidup membuat hati dan tubuh berontak, tak mau berdiam diri melihat suami kesulitan mendapat pekerjaan.

Para perempuan yang dipaksa oleh keadaan, rela dibayar dengan murah. Sekeras apapun bekerja, himpitan hidup tak juga berakhir. Gaji yang memang di bawah standar tak bisa mengejar meroketnya biaya hidup. Semakin keras kerja para perempuan, semakin tereksploitasi para perempuan. Dan semakin jauh pula para perempuan dari peran utama mereka sebagai manajer rumah tangga.

Ironinya, pemerintah malah mengacungi jempol para perempuan yang tak lebih dari "sapi perahan". Pujian seringkali disampaikan. Perempuan hebat penopang ekonomi keluarga penggerak perekonomian negara. Padahal itu semua adalah racun berbalut madu.

Negara membiarkan eksploitasi terhadap perempuan. Eksploitasi perempuan yang sebenarnya hanyalah demi kepentingan pemilik modal, yang menginginkan usaha mereka terus berjalan dan negara pun bisa mengambil keuntungan dari pajak yang disetor. Dengan begitu, simbiosis mutualisme pengusaha dan negara akan tetap terpelihara.

Para penguasa negara yang telah berkorban materi demi meraih tampuk kekuasaan, tentu tak mau melewatkan masa kekuasaan mereka. Berusaha mengembalikan modal atau bahkan mendapat keuntungan berlipat ganda.

Wajar jika di negeri kapitalis seperti ini tak pernah ada cerita pejabat yang jatuh miskin setelah berkuasa, yang ada adalah semakin kaya. Jadilah penguasa mengelola negara ibarat perusahaan penghasil keuntungan. Bukan demi kesejahteraan seluruh rakyat, namun demi segelintir pemilik modal yang akan menjamin bertahannya kekuasaan hingga akhir masa jabatan.

Maka menjadi wajar pula, jika kebijakan penguasa hanya menguntungkan pengusaha. Undang-undang Ketenagakerjaan yang mengizinkan eksploitasi terhadap perempuan, UU Penanaman Modal Asing yang semakin membuka kran liberalisasi dan swastanisasi adalah sebagian kecil produk negara yang sama sekali tak berpihak pada perempuan.

Bukannya memuliakan perempuan, keberadaan UU tersebut hanya membuat kaum perempuan semakin menderita. Kebijakan negara  yang kapitalistik dan campur tangan asing  telah membuat perempuan sengsara.

Perempuan berhak bahagia

Mempunyai keluarga bahagia, semua anggota keluarga menjalani peran masing-masing merupakan dambaan setiap orang, begitu pula dengan perempuan. Menjadi ibu, pengatur rumah tangga, menjadi pendidik anak-anak generasi hebat, dimuliakan, dihormati dan bisa menjalani amanah tambahan di luar rumah tanpa mengabaikan fungsi utama adalah kondisi yang sangat diidamkan.

Namun itu semua takkan terwujud dalam sistem kapitalisme, sistem ini hanya memandang perempuan dari potensi ekonomi semata. Mendorong wanita  menjadi mesin pencetak uang untuk menjaga daya beli masyarakat, agar produk-produk perusahaan tetap laku di pasaran.

Perempuan berhak mendapatkan perlakuan mulia, dijamin hak-haknya. Hak finansial, hak pendidikan, hak kesehatan, hak politik, hak mendapatkan rasa aman dan hak-hak lain yang memang selayaknya didapatkan  perempuan.

Dalam sejarah, sejak kapitalisme mencengkeram dunia mulai dari tahun 1924 di mana khilafah telah resmi dihapus Mustafa Kemal Pasha, perempuan tidak pernah mendapatkan kesejahteraan. Perempuan semakin terhinakan, seolah kembali ke zaman jahiliyah.

Sebuah kondisi yang bertolak belakang dengan keadaan perempuan dalam masa Islam. Di mana perempuan mendapatkan jaminan atas terpenuhinya hak-hak mereka, maka menjadi sebuah kewajaran ketika perempuan sejahtera dan mulia dalam sistem Islam, lahirlah generasi hebat pembangun peradaban. Ilmuwan-ilmuwan hebat yang lahir di dunia Islam sekaliber Abdullah ibn Abi Ishaq dan Sibawayhi ilmuwan di bidang bahasa, Al Khawarizmi, Al Karaji dan Ibn Al Haytham ahli matematika, Al Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Ruysd dan ribuan ilmuwan lainnya, mereka adalah ilmuwan yang lahir dalam sistem Islam.

Oleh karena itu, ketika perempuan menginginkan kebahagiaan di dunia, mereka tidak boleh menggantungkan harapan pada sistem kapitalisme yang telah nyata menjadikan perempuan tereksploitasi, hina dan hidup dalam kemiskinan. Menjadikan Islam dengan sistem khilafahnya sebagai satu-satunya jalan meraih kebahagiaan. Sebuah perjuangan yang membutuhkan pengorbanan dan kesabaran.

Dengan sistem Islam, tak hanya perempuan yang sejahtera, namun juga seluruh umat manusia. Perempuan harus bergerak untuk melakukan perubahan, aktif dalam usaha untuk menerapkan hukum Allah di muka bumi ini. Dengan begitu, kerinduan dan keinginan terhadap tegaknya khilafah akan semakin teropinikan, dan pada saatnya nanti umat akan memberikan kepercayaan untuk diatur dengan sistem Islam. Wallahu a’lam bishowab.

Nur Aini, S.Si

Guru

Pare Kediri Jawa Timur

NB: Kupersembahkan tulisan ini untuk para perempuan yang selalu kutemui dalam perjalanan pulang Kediri-Pare, bersama berdesakan di angkutan. Senyum di wajah kalian tak bisa menyembunyikan rasa pahit di hati. Semoga kesabaran dan keikhlasan selalu menyertai langkah kalian.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement