REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Wamenpan-RB) Eko Prasojo mengemukakan, pelaksanaan reformasi birokrasi terganjal persoalan sistem dan kultur birokrasi di Indonesia.
"Kita ini sudah sekian lama hidup dalam budaya birokrasi dengan kebiasaan yang nyaman, tidak terukur kinerjanya, kemudian biasa mendapatkan tambahan-tambahan penghasilan. Jadi itu sebenarnya juga terkait dengan sistem," kata Eko Prasojo di Jakarta, Rabu.
Sejumlah kelemahan birokrasi di Tanah Air, menurut dia, bukan disebabkan oleh kerusakan individual aparatur negara atau pegawai negeri sipil, melainkan sistem yang perlu dirombak.
"Itu bukan penyakit individual, tetapi penyakit sistem. Jadi dalam banyak kasus itu merupakan 'sistemic disease'. Orang yang idealis sekali pun, kalau masuk ke dalam sistem dan birokrasi yang korup bisa ikut korup," katanya.
Untuk menyembuhkan penyakit birokrasi di Tanah Air, pihaknya berupaya untuk menyempurnakan kembali sistem birokrasi sehingga dapat membawa perubahan budaya menjadi lebih sehat.
Kementerian PAN dan RB telah memiliki strategi untuk memperbaiki birokrasi pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah, mulai dari proses perencanaan, penganggaran, implementasi kebijakan hingga proses pengawasan.
Dengan sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah yang mulai membaik, dengan diberlakukannya Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE), Kementerian PAN dan RB saat ini sedang mengestimasi perencanaan penganggaran agar menjadi lebih efektif, katanya.
Selain itu, perampingan struktur organisasi dan sistem penerimaan PNS juga sedang diperbaiki guna mencapai tujuan reformasi birokrasi. "Kita mesti memperbaiki semuanya itu, pelan-pelan kita uraikan," katanya.
Sejumlah pihak menilai reformasi birokrasi telah gagal yang tercermin pada buruknya kinerja birokrasi, peringkat daya saing, infrastruktur dan indeks korupsi di Indonesia.
Hal itu dirasa tidak sesuai dengan anggaran untuk belanja pegawai dan belanja barang terus meningkat, hingga pada 2012 mencapai sekira Rp400 triliun.
Terkait akan hal itu, Eko mengatakan, dampak dari reformasi birokrasi tidak dapat dirasakan dalam waktu singkat karena memerlukan proses untuk mengubah pola pikir, budaya, paradigma dan perilaku birokrasi di Tanah Air.