Kamis 20 Dec 2012 02:20 WIB

RUU Jaminan Halal: DPR Ngotot Wajib, Pemerintah Sukarela

Rep: Ira Sasmita/ Red: Hafidz Muftisany
Produk berlabel halal MUI  (ilustrasi)
Foto: Agung Supriyanto/Republika
Produk berlabel halal MUI (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Larutnya pembahasan RUU Jaminan Produk Halal (JPH) ternyata disebabkan perbedaan pandangan antara DPR dan pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama (Kemenag).

Kemenag menginginkan sertifikasi bersifat sukarela, sedangkan DPR menginginkan bersifat wajib. Menurut anggota Komisi VIII Nasir Djamil sertifikasi wajib bagi semua produk mulai dari makanan, kosmetik, obat-obatan dan tekstil.

"Kasus-kasus yang ada kan sudah jelas, bahwa harusnya memang sertifikasi itu wajib. Mekanismenya yang diatur lagi, jangan sampai sertifikasi memberatkan industri kecil," jelas Nasir saat dihubungi Republika, Selasa (19/12).

Senada dengan Nasir, Anggota Komisi VIII dari Fraksi PKB, Ali Machsan Moesa mengatakan kasus bakso babi secara jelas memperlihatkan betapa dibutuhkannya payung hukum dalam pengawasan peredaran produk-produk konsumsi masyarakat.

Segala perdebatan yang menyebabkan RUU urung disahkan, disebut Ali, malalui penemuan bakso babi harusnya mengetuk kesadaran pemerintah.

"Masih aja oyo-oyo an, pemerintah mau sifat sertifikasi sukarela. Kalau sukarela buat apa disusun UU, harusnya kan mandatory," ungkap Ali.

Dengan RUU JPH, lanjut Ali, penegakan hukum menjadi jelas. Karena dalam aturan itu dirumuskan jenis sanksi yang akan dikenakan bagi pihak-pihak yang melanggar aturan jaminan produk halal tersebut. Sehingga, aplikasi aturan di lapangan memberikan hasil maksimal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement